Bagian 19

474 40 4
                                    

"Saat kamu menelepon, kebetulan aku baru sampai di depan rumah karena ada tugas kantor yang harus aku selesaikan di kantor sini. Begitu kamu bilang Umi sakit, aku langsung putar balik. Lagian, kenapa kamu bisa-bisanya meneleponku sedangkan kamu tahu kalau sekarang aku bekerja di Padang?" Reza memandangku dengan tatapan penuh selidik.

Aku gelagapan karena baru sadar akan hal itu. Iya juga, ya. Kenapa harus Reza yang aku hubungi? Padahal, aku bisa menelepon Pak RT, Nindya atau siapapun deh selain dia. Namun, otak dan jemari seakan digerakkan untuk mencari namanya di kontak ponselku.

"Nggak usah dijawab kalau kamu merasa nggak nyaman. Yang penting, Umi baik-baik saja sekarang."

Aku mengangguk. "Terima kasih, Bang."

Hanya itu yang mampu kuucapkan padanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah untuk bersikap.

***

Aku terduduk lemas di ruang tamu setelah memastikan Umi tertidur di kamarnya. Kata dokter, Umi hanya terlalu banyak pikiran.

Aku jadi merasa bersalah. Mungkin, karena batalnya lamaran Ramzi dan perdebatan kami semalam yang membuat Umi demikian. Padahal, aku tahu Umi sangat berharap agar aku dan Ramzi bisa menikah.

"Astaghfirullaah. Maafkan aku, Umi!"

Kedua mataku terasa panas. Saat memejam, butiran bening pun perlahan jatuh membasahi pipi.

Ketukan di pintu yang sengaja kubiarkan terbuka, membuatku tersentak dan seketika membuka mata. Reza, pria itu telah berdiri di ambang pintu dengan membawa sesuatu di tangannya. Gegas kuusap air mata dan langsung berdiri menghampirinya.

Reza mundur selangkah dan menyerahkan kantong plastik berwarna putih. "Sarapan dulu! Nanti kamu sakit."

Meskipun terdengar datar, tetapi aku tahu jika itu adalah sebuah perhatian darinya.

"Abang nggak usah repot-repot."

"Repot? Pagi-pagi buta udah kamu repotin masih aja basa-basi," tudingnya.

Aku tersenyum tipis. "Maaf, kalau sudah merepotkan Abang. Sekali lagi, terima kasih sudah membantuku dan Umi. Aku—"

"Sejak dari rumah sakit, entah sudah berapa kali kamu bilang terima kasih. Bosan tau nggak dengernya?" potong Reza. "Udahlah, sana kamu sarapan dulu! Aku mau pulang, mau mandi dan siap-siap ke kantor. Kalau ada apa-apa, telepon saja aku. Nggak usah gengsi!"

Selalu saja kata-katanya bikin kesal. Akan tetapi, ini bukan saatnya menanggapi hal yang tidak penting.

"Kamu jangan lupa mengabari sekolah kalau kamu hari ini enggak masuk." Reza mengingatkan.

"Iya, Bang."

"Atau ... apa perlu aku bantu datengin sekolah kamu?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Nggak. Nggak usah, Bang. Aku saja yang telepon nanti."

"Oh, ya, sudah. Kalau gitu ... aku balik dulu."

"Bang Reza di sini berapa hari?"

Pertanyaan konyol dariku membuat langkah Reza terhenti. Lalu, dia kembali memutar tubuh.

"Mungkin untuk dua atau tiga hari. Tergantung apakah pekerjaanku cepat selesai atau malah ada halangan. Kenapa?"

"Eumm, nggak apa-apa. Nanya aja, kok," kilahku, membuang pandangan dari sepasang manik miliknya.

Reza tertawa pelan. Kemudian, dia melanjutkan langkah meninggalkan halaman rumahku.

***

Setelah menutup pintu depan dan menguncinya, aku datang ke kamar Umi terlebih dahulu untuk mengecek keadaannya. Ternyata, Umi masih tidur. Posisinya belum berubah sejak kutinggalkan tadi. Kembali kututup pintu dengan pelan. Setelahnya, aku ke ruang makan untuk sarapan.

Sembari menikmati sepiring lontong, pikiranku tertuju lagi pada Reza. Terngiang cerita Nindya, juga teringat kejadian tadi pagi. Semua membuatku tak habis pikir, bahkan pada diri sendiri. Apakah ini sebuah pertanda dari Allah setelah Ramzi membatalkan lamarannya?

"Duh, mikir apa sih, kamu Dil?" gumamku pada diri sendiri saat tersadar dengan pikiran yang tidak-tidak. Ini hanya hal biasa. Aku melakukannya dalam keadaaan panik karena tidak tahu harus menghubungi siapa.

Cepat kuhabiskan sarapan sambil melirik kantong plastik yang dibawa Reza tadi. Di dalamnya masih ada beberapa makanan serba cokelat. Roti, biskuit ... ah, dia pikir aku serakus itu?

Pintu depan terdengar diketuk oleh seseorang, bertepatan dengan sarapanku habis. Aku bergegas ke depan, mengintip sebentar dari balik vitrase. Ternyata rombongan ibu-ibu kompleks. Ada sekitar lima orang. Pasti mau jenguk Umi. Tadi pagi, salah satu dari mereka sempat melihat dan menyapa saat aku dan Reza membopong Umi masuk ke mobil.

***

"Mi, maafin Dila, ya, Mi? Gara-gara Dila, Umi jadi sakit begini," sesalku lirih, menatap wajah pucat Umi. Aku baru saja selesai menyuapinya makan siang sekaligus memberi obat.

Umi menggeleng lemah. "Kamu bicara apa, sih, Dil? Kamu nggak salah. Ekspektasi Umi saja yang terlalu tinggi. Umi juga nggak mau memaksa jika memang kamu nggak suka sama Ramzi."

Tenggorokanku terasa sakit, mencoba menahan air mata yang mendesak ingin keluar dari kelopaknya.

"Umi hanya ingin ... sebelum Umi meninggal, kamu sudah ada yang menjaga. Umi nggak mau kamu sendirian di dunia ini."

"Umi!" teriakku tertahan, lalu merebah di dada Umi, memeluk tubuhnya. Tangisku pecah juga. "Umi jangan ngomong seperti itu! Kita akan sama-sama terus."

Usapan lembut tangan Umi di kepalaku, membuat tangis makin menjadi. Tiba-tiba rasa takut akan kehilangan Umi menyelimuti pikiran. Aku pun bangkit dan meraih tangan Umi.

"Dila nggak akan ngecewain Umi lagi. Dila janji. Jika Umi mau, Dila akan memperbaiki semuanya. Dila akan minta maaf sama Ramzi. Dila akan menuruti permintaan Ramzi. Dila akan menikah dengan Ramzi. Dila ...."

"Dila, Dila, Dila!" potong Umi dengan suara pelan sambil menggoyang-goyang tanganku. "Kamu ini sedang bicara apa?"

Aku tertunduk dalam isak tangis. "Dila mau Umi bahagia."

"Umi juga mau kamu bahagia. Maafkan Umi juga, karena terkesan memaksamu."

"Nggak, Mi, Umi nggak perlu minta maaf. Umi nggak salah apa-apa. Apa yang Umi lakukan adalah hal wajar sebagai seorang ibu."

Obrolanku dengan Umi terjeda saat mendengar suara orang mengucap salam. Aku segera menghapus air mata.

"Itu Mama Feni datang, Mi. Aku ke depan dulu, ya?"

Umi hanya mengangguk.

***

"Jadi ... lamaran lelaki itu dibatalkan sepihak?" Mata Mama Feni membesar. Ketika kuceritakan apa yang terjadi sejak semalam padanya.

"Iya, Ma. Semua juga karena Dila. Dila yang nggak mau menuruti keinginan pria itu untuk berhenti mengajar setelah menikah nanti. Sementara mengajar hal yang sulit untuk Dila lepaskan dalam hidup. Profesi itu adalah separuh hidup Dila dan dia nggak ngerti akan hal itu, Ma."

Mama Feni mengangguk-angguk. Kulirik Nindya, gadis itu tampak semringah mendengar ceritaku walau tak sepatah kata pun keluar dari lisannya.

"Ternyata, penolakan Dila membuat Umi sakit. Tapi ... Dila akan mencoba memperbaiki segalanya. Dila akan bicara lagi dengan pria itu. Dila akan mencoba mengalah kali ini demi Umi, walau harus mengorbankan apa yang Dila cintai."

Mama Feni terdiam. Suasana ruang tamu itu semakin sunyi, kami bertiga seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. 

***

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang