Bagian 17

455 43 5
                                    

Sejak pembicaraan kami kemarin, kuperhatikan sikap Ramzi berubah lagi. Dia mulai kembali ke sikap lamanya, banyak diam. Tak lagi terlihat senyum dan tawanya saat berkumpul dengan rekan sesama guru laki-laki. Mungkinkah dia kecewa denganku?

Ah, biarkan saja! Kalau memang dia mau membatalkan lamarannya, aku sudah siap kok. Lagian, aku juga tidak terlalu antusias untuk menikah. Semua kulakukan demi Umi. Aku ingin membahagiakannya.

"Aku pikir, kamu perempuan yang bisa patuh terhadap suami. Ternyata, aku salah. Kamu bukan seperti yang aku inginkan."

Aku mengernyit mendengar ocehan Ramzi. Dia mencegatku di salah satu sudut koridor sekolah, ketika pergantian jam pelajaran. Ramzi seperti tidak peduli saat berpasang mata para guru yang lewat menatap kami penuh tanda tanya.

"Maaf, maksudnya apa, ya? Saya tidak patuh pada suami?"

"Ya. Buktinya kamu tidak mau memenuhi perintahku untuk berhenti mengajar saat kita menikah nanti."

Aku membuang muka sambil tersenyum sinis.

"Belum menikah saja kamu sudah seperti ini, bagaimana nanti kalau kita sudah menikah? Bisa-bisa aku menyesal memperistri perempuan yang tidak mau mendengar perintah suaminya."

Astaghfirullaahal'adzhiim! Sungguh, aku terkejut mendengar ucapan Ramzi. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ternyata dia seperti ini. Aku pikir, dia lelaki baik yang sangat menjaga tutur katanya. Ternyata, di balik sikap tenang yang kulihat selama ini, dia menyimpan sebuah keegoan yang begitu tinggi. Padahal kami belum menikah, dia sudah berani mengataiku sedemikian rupa.

Kutarik napas agar emosi tidak ikut menguasai sebelum mengeluarkan kata-kata untuk menampik tuduhannya.

"Tolong dengarkan saya baik-baik, Pak Ramzi! Kita ini baru mau menikah. Belum ijab kabul. Apa yang saya katakan tentang keinginan saya sebelum menikah, itu adalah sebuah syarat. Jika diterima, saya bersyukur. Jika tidak, tentu pernikahan kita tidak akan terjadi. Sesederhana itu. Jadi, jika Bapak memang keberatan dengan syarat yang saya ajukan ... kita batalkan saja semuanya. Gampang, kan?"

Ramzi tak berkutik. Dia seperti tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hati, aku sangat bersyukur karena Allah tunjukkan watak asli lelaki itu sebelum pernikahan kami terjadi. Perempuan keras kepala sepertiku memang tidak akan cocok mendampinginya. Hanya Mizan yang bisa menerimaku apa adanya dan tidak pernah memaksaku berhenti menjadi seorang guru. Karena dia sangat memahami dan mendukung profesiku sepenuhnya.

"Masih ada yang mau dibicarakan lagi, Pak Ramzi? Sepertinya Bapak sudah telat untuk mengajar di kelas saya." Aku mengingatkan lelaki itu. Sebab, jika terlalu lama berdiri di sini bersamanya, aku takut orang-orang berpikir yang tidak-tidak tentang kami. Fitnah akan menyebar dengan mudah.

Ramzi akhirnya mengangguk. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, dia memutar tubuh dan meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat sikapnya.

Aku membuang napas lega. Rasanya, aku baru saja melepaskan beban yang terasa berat di dada. Mungkin ini adalah cara Allah menjawab istikharahku. Ramzi bukan orang yang tepat untuk menggantikan singgasana Mizan.

***

Aku bergegas meninggalkan ruang guru setelah menerima telepon dari Nindya. Gadis itu telah menunggu di depan sekolah. Katanya, dia ingin bicara penting denganku.

Lagi-lagi, aku berpapasan dengan Ramzi di koridor. Aku sedikit salah tingkah karena dia juga hanya berdiri mematung tanpa berniat menyingkir dari hadapanku.

"Maaf, saya duluan," ucapku seraya melewatinya.

"Kita harus bicara lagi dengan serius, Dil."

Langkahku terhenti. Aku mengembus napas, lalu menjawab tanpa memutar tubuh, "Kalau mau membicarakan soal yang tadi ... maaf! Aku tidak akan mengubah sedikit pun keputusanku. Percuma jika perdebatan ini kita lanjutkan. Tidak akan ada titik temunya selain menerima."

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang