Bagian 11

510 36 2
                                    

Kata-kata Helen masih terngiang di telinga, meskipun dua minggu sudah berlalu. Sejak itu pula aku tidak pernah lagi melihat Reza. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah Mama pun, dia tidak pernah terlihat. Reza seperti sengaja menghindar.

Kalau mengingat semua yang telah Reza lakukan untukku, mungkin bisa jadi alasan untuk membenarkan apa yang telah dikatakan Helen. Meskipun dia tidak pernah bersikap baik padaku.

Apa mungkin sikapnya itu untuk menutupi perasaannya?

"Ngelamun aja!" tegur Umi.

Aku yang sedang duduk di depan TV, terkejut. Benda persegi itu sengaja tidak kunyalakan. Karena tadinya aku sedang asyik berdiskusi dengan salah satu rekan guru di WA. Entah kenapa tiba-tiba saja aku sudah dalam keadaan melamun.

"Mikirin apa?" tanya Umi, seraya mengemasi cangkir kopi yang sudah kosong, dari meja.

"Nggak mikirin apa-apa, Mi."

"Kamu minum kopi?" tanya beliau lagi setelah melihat bekas isi cangkir.

Aku menyengir. "Iya, Mi. Lagi pengen soalnya."

Umi geleng-geleng. "Nanti malah nggak bisa tidur. Udah malam lho! Besok nggak ngajar?" Pandangan Umi mengarah ke jam dinding. "Tuh, udah hampir pukul sepuluh."

"Iya, Mi. Sebentar lagi Dila tidur. Ini masih ngobrol sama teman. Lagian, besok hari Minggu."

"Astaghfirullaah, iya. Umi kok lupa, ya? Beginilah kalau sudah tua."

Aku tertawa kecil.

"Umi tidur duluan, ya? Itu semua jendela dan pintu sudah dikunci, kan?"

"Sudah, Mi. Eh, cangkirnya biar Dila aja yang bawa ke dapur, Mi!"

"Udahlah, Umi juga mau sekalian ke kamar mandi," tampiknya.

Umi pun bangkit dari duduknya. Namun, tiba-tiba beliau menceletuk, "Eh, Dil, Umi lupa cerita sesuatu."

Umi kembali duduk di tempat semula.

"Cerita apa, Mi? Jangan bilang cerita tentang Pak Hari lagi!" Aku berpraduga.

Pak Hari adalah salah satu warga kompleks perumahan tempat kami tinggal. Dia berstatus duda dan sudah lama suka sama Umi. Sudah beberapa kali dia mencoba melamar Umi dan sekian kali pula Umi dengan tegas menolaknya.

"Ish, bukaaaan." Umi mendelik.

Aku cekikikan melihat ekspresinya.

"Gini, lho, Dil! Tadi, waktu ke pasar, Umi ketemu sama teman lama Umi. Kami ngobrol banyak di sebuah restoran, sampai nggak sadar udah masuk waktu shalat Zuhur." Ada tawa di sela Umi bercerita. Mungkin, sembari bercerita, dia sedang membayangkan keseruannya bertemu sang sahabat lama.

"Wah, seru dong, Mi! Pasti Umi dan sahabat Umi bernostalgia."

"Pastinya dong! Tapi bukan itu inti yang mau Umi ceritakan sama kamu."

"Terus, apa dong, Mi?"

Umi menarik napas, dia tersenyum memandangku. "Umi bercerita banyak hal tentang kamu sama dia."

Kedua alisku terangkat. "Oh, ya? Wah, Dila dighibahin, nih!"

"Husss, sembarangan kalau ngomong! Umi tu cuma ceritain perjalanan hidup kamu sampai saat ini. Ternyata, gayung pun bersambut. Teman Umi mau ketemu sama kamu."

"Gayung bersambut? Bertemu sama Dila? Maksudnya gimana, Mi?" Kuperbaiki posisi duduk dengan menaikkan kaki ke sofa dan bersila di atasnya.

"Dia punya seorang putra, sepantaran sama almarhum suamimu. Setelah mendengar cerita Umi, dia tertarik denganmu dan ingin ketemu langsung sama kamu."

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang