Bagian 7

607 48 2
                                    

Pukul 08.15 WIB, aku mengantar Umi ke musala kompleks. Suasana sudah terlihat lumayan ramai. Semua sibuk dengan tugas masing-masing. Maklum, ustaz yang mau datang berasal dari luar kota. Tentu Umi dan teman-temannya harus menyediakan segala sesuatunya untuk menyambut dan menjamu sang ustaz sebaik mungkin.

"Kamu yakin nggak mau tinggal?" Umi bertanya untuk meyakinkan.

"Eum, Dila di rumah ajalah, Mi," sahutku malas.

"Katanya otak lagi lelah. Menyirami kalbu dengan ilmu, bukankah itu akan membuat pikiran lebih tenang?" Umi tersenyum menatapku. Senyuman yang selalu meneduhkan.

"Dila pulang dulu aja, Mi. Setidaknya kalau mau menghadiri kajian, Dila harus ganti baju dulu, kan? Masa pakai baju kek gini?" Aku memandang gamis dan jilbab rumahan yang melekat di tubuh. Karena memang tadinya tidak berniat untuk ikut hadir di pengajian.

"Ya, sudah, kalau begitu. Kamu hati-hati, ya?" pesan Umi. Kemudian, beliau berjalan meninggalkanku untuk berbaur dengan teman-temannya.

Raut semringah rekan-rekannya menyambut kehadiran Umi, yang begitu anggun dalam balutan setelan gamis berwarna hijau tua. Aku sangat bangga telah lahir dari rahimnya. Seorang wanita yang lemah lembut, penyabar dan juga kuat fisik maupun mentalnya. Aku ingin seperti Umi, meskipun itu tidak mungkin. Namun, setidaknya Umi bisa jadi panutanku dalam menapaki hidup.

Tersadar dari lamunan, aku pun segera pergi meninggalkan halaman musala. Lagian, aku belum mandi sejak tadi. Kebiasaan jelek yang selalu kulakukan setiap libur mengajar. Kebiasaan ini juga yang sering membuat Mizan jengkel dulunya. Dia akan mengomeliku sampai akhirnya aku bosan dan memutuskan untuk mandi lebih cepat.

Tak sampai lima menit, aku sudah sampai di rumah. Segera kukunci pintu pagar dan memasukkan motor ke garasi. Semua pintu dan jendela tak lupa aku kunci sebelum mandi. Beginilah kalau aku sedang sendirian di rumah mungil ini.

***

Setelah mandi, aku masih merasa ragu untuk datang ke pengajian atau tidak. Paling malasnya kalau ketemu sama ibu-ibu kompleks. Selalu saja aku ditodong dengan pertanyaan yang sama.

"Udah ada calon? Mau Ibu carikan?"

"Kapan nikah lagi? Kamu masih muda lho, Dil."

"Sama putra Ibu, mau nggak, Dil? Dia juga duda, tapi anaknya udah dua."

Begitulah pertanyaan sekaligus tawaran dari mereka yang aku artikan sebagai sebuah kepedulian. Hanya saja, kadang aku bosan juga mendengarnya.

Kuputuskan untuk berkirim pesan pada Umi bahwa aku tidak jadi datang ke pengajian. Umi pun tidak memaksa dan seperti biasa selalu memaklumi.

Sendirian di rumah, membuatku bingung mau melakukan apa. Mau mengerjakan pekerjaan rumah, semua sudah diselesaikan Umi sejak subuh tadi. Aku tidak kebagian apa-apa kecuali  mencuci piring bekas sarapan kami berdua. Umi bukan memanjakanku, tetapi aku memang selalu kalah cepat dengan beliau.

Untuk menghindari rasa bosan, aku memilih menonton televisi. Namun, tetap saja aku tidak bisa menikmatinya. Meskipun ada camilan keripik pisang cokelat yang menemani. Entah, aku jenuh dan rasanya ada yang kurang.

Apa karena aku enggan menghadiri pengajian hari ini sehingga aku gelisah? Ah, biasanya aku juga tidak pernah datang ke sana. Tentu bukan itu penyebabnya.

Apa mungkin, aku butuh kembali ke ruang yang dulu sering kudatangi? Ruang yang kerap kusinggahi setiap minggu bersama Mizan, bahkan sebelum aku dihalalkan lelaki itu. Mungkinkah sebenarnya aku rindu pada suasana itu? Suasana syahdu bertabur ilmu yang membuat diri tak pernah puas untuk menimbanya.

Segera, kuraih ponsel di meja dan mencari sebuah nama yang sudah lama tidak kuhubungi.

Ustazah Hana. Dia adalah istri Ustaz Syukri. Wanita itu yang selalu meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu denganku dan teman-teman lainnya. Semoga tidak ada yang berubah dan aku belum kehilangan kesempatan.

Kuberanikan diri menyentuh tombol hijau saat kutemukan nama itu.

"Maasyaa Allah, Fadilah?"

Terdengar pekik tertahan di seberang sana. Sepertinya Ustazah Hana begitu semringah mendengar suaraku.

"Apa kabar, Dila? Lama tidak mendengar kabar dan suaramu."

"Alhamdulillaah, kabar baik, Ustazah."

"Saya tahu, kamu pasti sibuk. Kapan ada waktu, mainlah ke rumah saya. Kita melepas kangen dan bercerita banyak hal seperti dulu."

"Insyaa Allah, Ustazah. Saya juga rindu ingin berjumpa sama Ustazah dan teman-teman. Sudah lama sekali saya meninggalkan majelis ilmu."

"Tidak apa-apa, Dila. Sayangnya, sekarang saya sedang di kampung tempat ibu mertua. Kalau Allah izinkan, minggu depan kamu datang taklim, ya? Saya akan beri tahu teman-teman yang lain. Kita adain acara kecil-kecilan untuk menyambut kedatanganmu."

"Maasyaa Allah, tidak usah sebegitunya, Ustazah. Saya ini bukan siapa-siapa," tolakku sungkan.

"Bukan siapa-siapa bagaimana? Kita itu saudara seiman. Jadi, menyambut kedatangan saudara yang sudah lama tidak bersua, tidak ada salahnya, kan?"

Aku tidak bisa membantah lagi. Rasanya ingin segera melompati hari agar segera bersua dengan minggu depan dan bertemu dengan Ustazah Hana serta teman-teman lainnya. Aku berharap, semoga ini adalah awal agar aku bisa istiqamah kembali dalam menimba ilmu.

Setelah hampir dua puluh lima menit, kami pun mengakhiri obrolan. Di saat yang bersamaan, terdengar suara seseorang memanggil dari luar.

"Kak Dilaaaaa! Assalaamu'alaykum!"

Itu bukannya suara Nindya?

Gegas, aku berlari ke ruang depan dan mengintip dari balik gorden. Ternyata memang benar, itu Nindya. Tumben dia ke sini tidak mengabariku lebih dulu?

Aku pun kembali ke dalam untuk mengenakan pakaian yang layak untuk keluar dari rumah. Gamis, jilbab dan kaus kaki. Setelahnya, aku segera membuka pintu dan menghampiri Nindya yang tampak tak sabar berdiri di depan pagar.

"Assalaamu'alaykum, Kak," sapa Nindya begitu melihatku berjalan mendekatinya. Wajahnya semringah sekali.

"Wa'alaykumussalaam. Nindya? Kok datang nggak ngabari Kakak dulu?" tanyaku seraya membuka gembok pagar besi bercat hitam itu.

"Pengen ngasih surprise aja," sahutnya, dan langsung masuk begitu pagar terbuka.

"Kamu ke sini sendirian? Naik apa?"

Belum terjawab pertanyaanku, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pagar.

"Tuh, sama Bang Reza. Tadi dia ke minimarket sebentar. Mama tadinya mau ikut, tapi adik mama minta ditemani mengunjungi menantunya. Jadi, ya, terpaksa Mama batal ke sini. Diwakilkan sama kami berdua," tutur Nindya, lalu cengengesan.

Pintu mobil terbuka dan Reza pun turun. Manik kami bertemu pandang beberapa saat, sebelum akhirnya ia melempar senyum dan terpaksa kubalas dengan perlakuan yang sama.

Reza menyodorkan kantong plastik yang entah apa isinya padaku. "Buatmu," katanya singkat.

Ragu, kuterima pemberiannya dan mengucapkan terima kasih. Tanpa basa-basi.

Pandangan Reza beralih pada Nindya. "Nanti kalau udah selesai, kasih tahu saja biar Abang jemput."

"Lho? Abang, mau ke mana? Nggak ikut masuk?" tanya Nindya.

Reza melirikku sekilas, lalu menggaruk dahinya. "Enggak. Nanti ada yang merasa nggak nyaman kalau Abang di sini."

Aku terkesiap mendengar jawaban Reza. Meskipun yang dikatakannya benar, tetapi tak harus sejujur itu juga di depan Nindya.

"Maksudnya gimana, sih, Bang? Siapa yang nggak nyaman?" Gadis cantik itu berusaha meminta penjelasan. Dia memandangku dan Reza secara bergantian.

Reza tertawa kecil. "Kamu ini, itu aja perlu dijelasin. Udahlah, Abang jalan dulu."

Pria itu memutar tubuh dan masuk ke mobilnya tanpa berkata apa pun padaku.

Tidak sopan! Kenapa dia tidak pamit padaku? Dia berani mengabaikanku? Dia pikir dia siapa main pergi begitu saja?

Eh, kenapa aku jadi marah?

***

Ada apakah gerangan?
Apakah Dila mulai merasa kalau ... ah, masa sih?  Kepo nggak sama bab berikutnya?

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang