Bagian 31

224 11 0
                                    


Tubuhku terasa lengket karena telah basah oleh keringat. Maklum, tubuhku yang tidak langsing ini terlalu banyak menyimpan lemak yang akan terbakar saat bergerak banyak dan di luar kebiasaan.

Satu per satu, rintik hujan pun turun. Aku menengadah, rupanya awan hitam telah menyelimuti langit. Salah satu halte yang berada tak jauh dari posisiku berada, tampak kosong. Sekuat tenaga kudorong motor ke sana sebab hujan mulai menurunkan ribuan jarumnya dengan cepat.

Aku terduduk lemas di bangku halte, memandang air yang tercurah dari langit begitu derasnya. Tak dapat kuhindari, percikannya membuat rok seragamku jadi kotor.

Pasrah. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tentang apa saja yang akan dan telah kujalani hari ini, semuanya pasti sudah sesuai skenario Allah. Baik atau buruk, suka atau tidak, sebagai hamba aku hanya berkewajiban menjalaninya.

***

Sudah setengah jam. Namun, hujan tak kunjung reda. Separuh rokku telah basah. Entahlah, kali ini aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku sama sekali tidak bisa memberi tahu siapa pun tentang kondisiku termasuk pihak sekolah. Yang jelas, aku akan kena peringatan hari ini.

Napas kuembus perlahan, mencoba menenangkan pikiran dan menghalau rasa cemas. Tiba-tiba aku tersadar kalau perut mulai terasa perih. Aku lapar. Teringat kalau aku belum sarapan. Coba saja tadi aku menuruti kata-kata Mama Feni untuk sarapan dulu. Hufft! Astaghfirullaah! Ini bukan saatnya menyesali apa yang sudah terjadi.

Perlahan, hujan pun mulai reda. Di saat bersamaan, satu mobil berwarna merah hati berhenti tepat di depan halte. Sepertinya aku mengenali mobil itu.

"Dila? Itu beneran kamu?" tanya perempuan di balik kemudi setelah dia menurunkan kaca mobil sebelah depan bagian kiri.

Tidak salah, itu Helen!

Aku tersenyum. "Kak Helen?"

Helen kembali menaikkan kaca mobil dan sedikit memundurkan mobilnya. Tak lama, ia keluar dengan setengah berlari mendekatiku, membiarkan bajunya sedikit basah terkena rintik hujan. Wangi parfumnya yang begitu lembut menguar, menyapa rongga hidung, saat dia duduk tepat di sampingku.

"Kebetulan banget kita ketemu di sini, ya?" ungkap Helen dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Pandangannya lurus ke depan.

Aku merasa, dia tidak sehangat biasa. Buktinya, tanpa basa-basi, dia langsung duduk saja di sampingku.

"Qadaarullaah, Kak. Aku kehabisan bensin, baterai HP juga habis. Lupa ngecas tadi malam. Charger pun lupa bawa saking buru-burunya berangkat. Aku nggak bisa berbuat apa-apa selain duduk di sini," jelasku panjang lebar. Berharap dengan curhat, bisa membuatku sedikit lebih baik setelah apa yang kualami pagi itu.

Helen tidak menanggapi. Bisa kulihat raut wajahnya yang datar saja seolah tak peduli dengan apa yang barusan kuuraikan.

"Eumm, Kakak mau ke mana?" Kucoba mengalihkan pembicaraan, tanpa melepas pandangan dari wajah Helen.

"Rencana memang mau menemui kamu nanti siang, tapi ternyata kita bertemu di sini lebih cepat. Jadi ya ... lebih cepat lebih baik."

Helen menoleh sehingga kami beradu pandang. Tatapan tajamnya membuatku terkesiap.

Aku tetap memberi senyuman, mencoba membuat suasana tetap nyaman untuk diri sendiri.

"Kamu munafik, Dil!" tuding Helen dan itu terdengar tajam di telingaku.

Senyumku surut seketika, berganti dengan menatap heran pada Helen. "Munafik? Maksud Kakak apa, ya?"

Helen mendengkus dan mengarahkan pandangannya ke tempat lain. "Aku mau to the point aja. Kamu berjanji akan membantuku agar bisa bersatu dengan Reza. Lalu, kenapa semalam Reza memberitahuku kalau kamu bersedia menikah dengannya dengan sebuah syarat? Bukankah kamu tidak punya perasaan apa-apa sama Reza? Atau kamu berubah pikiran dan merasa cemburu setelah tahu perasaanku?"

Aku menggeleng cepat. "Bukan! Bukan begitu, Kak! Ini nggak sesimpel yang Kakak pikirkan. Aku punya alasan sendiri untuk memutuskan itu walau mungkin terdengar terburu-buru. Ini nggak ada hubungannya dengan rasa cemburu. Aku ...." Tidak kulanjutkan kata-kataku. Astaghfirullaah! Aku lupa dengan perasaan Helen saat mengiakan permintaan Mama Feni. Cerobohnya aku dalam mengambil keputusan!

"Kenapa? Ternyata aku benar bukan? Kamu cemburu sama aku, Dil." Helen terus mendesak.

Aku menghela dan mengembus napas. Dijelaskan secara detail pun rasanya tidak akan berguna. Terlalu panjang dan Helen juga tidak akan percaya.

"Diam kamu sudah menjawab segalanya." Helen bangkit dari duduk. "Terima kasih karena sudah memberiku harapan untuk bisa bersama Reza. Walau pada akhirnya, kamu sendiri yang mematahkan harapan itu."

Seiring hujan yang benar-benar telah berhenti, Helen beranjak meninggalkanku tanpa pamit.

Aku termangu. Hanya bisa menatap hingga tubuh Helen masuk ke dalam mobil. Sampai pada detik selanjutnya, kendaraan roda empat itu pun bergerak menjauhi halte.

Mengembus napas yang tadi seakan tertahan, aku mencoba tidak terlalu peduli dulu dengan apa yang barusan terjadi. Karena memikirkan cara untuk pulang lebih penting saat ini. Tidak mungkin aku terus-terusan duduk berdiam diri.

***

Alhamdulillaah, akhirnya aku sampai di rumah kembali. Bersyukur ada ojek online yang berhenti di halte dan aku minta tolong dia membelikan bensin. Aku merasa lega walau nanti akan ada konsekuensi yang kudapat dari sekolah karena tidak memberi kabar.

Mobil Reza masih terparkir di halaman. Artinya dia masih di rumah. Padahal seharusnya dia sudah di kantor pada jam segini.

Mama Feni menyambut dengan raut khawatir. Apalagi saat memindai bajuku yang kotor dan lembab.

"Ceroboh sekali!" Reza menggeleng-geleng saat kuceritakan apa yang terjadi pada Mama Feni. Aku hanya melirik wajahnya sekilas. Dia terlihat kesal. Pasti karena kecerobohanku.

"Nih, kamu bawa power bank-ku! Sepertinya kamu lebih butuh ketimbang aku." Lelaki itu mengeluarkan benda yang dia sebut dari tas kerjanya. Ternyata dia ada acara di luar kantor sehingga baru hendak berangkat saat aku tiba di rumah.

Reza menyodorkan power bank itu padaku. Dengan ragu, kuterima pemberiannya.

"Ingat, jangan pernah lupakan benda ini dalam tasmu dan pastikan selalu kamu isi dayanya!" Kalimat Reza mengakhiri percakapan di ruang tamu sebelum dia pamit pergi.

Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Namun, perhatian lelaki tersebut sungguh membuatku tak mampu berkata-kata. Mulutku seakan terkunci. Dia memang sangat baik. Hal yang tidak bisa kusangkal darinya.

Beberapa saat kemudian, aku pun minta izin pada Mama Feni untuk masuk kamar. Aku ingin mandi dan segera sarapan sebelum menghubungi pihak sekolah. Apa pun tanggapan kepala sekolah nanti, aku pasrah saja. Toh semua di luar kendaliku.

***





Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang