Bagian 15

520 33 2
                                    

"Di depan ada Reza."

Ucapan Umi membuatku mengernyit.

"Bang Reza, Mi?" tanyaku memastikan.

"Iya. Katanya dia dengar kamu sakit, makanya jenguk kamu ke sini." Raut tidak suka bisa terbaca dari wajah Umi saat mengatakan itu.

Aku yang masih merasa nyaman berbaring di ranjang, berusaha bangkit.

"Tidak perlu bangun. Kamu juga tidak perlu menemuinya. Biar saja Umi yang bilang ke dia kalau kamu lagi istirahat dan tidak mau diganggu."

Aku sedikit kaget dengan perintah Umi. Namun, aku paham kenapa Umi bersikap demikian. Tak lain karena perkara Reza mabuk semalam. Padahal, waktu itu Umi sangat mendukung perjodohanku dengan Reza.

"Baik, Mi. Terserah Umi saja," sahutku patuh. Aku tidak mau menentang perintahnya. Apalagi perintah itu mengandung kebaikan untukku. Lagian, kenapa Reza mau ketemu aku segala?

Umi pun keluar dari kamarku. Sementara aku memilih menyandar di kepala ranjang.

Selang beberapa menit kemudian, Umi kembali datang ke kamar dengan membawa sebuah kantong plastik yang cukup besar. Lalu menaruhnya di nakas.

"Dari Reza. Katanya buat kamu," kata Umi.

Kulirik plastik berwarna putih tersebut. Samar terlihat ada buah-buahan di dalamnya.

"Umi benar-benar curiga sama dia, Dil."

"Curiga kenapa, Mi?"

Umi menatapku tajam. "Reza sepertinya memang mencintai kamu."

Aku tertawa kecil. "Umi bilang gitu, pasti gara-gara ucapan saat dia mabuk semalam, kan?"

"Dila, Umi ini sudah tua. Umi bisa menilai gerak-gerik seseorang yang memiliki perasaan tertentu pada lawan jenisnya. Meskipun orang tersebut tak pernah menunjukkannya secara jelas."

Aku berpaling dari tatapan Umi.

"Kamu ingat perhatian-perhatian yang dia berikan sama kamu walau dengan cara yang aneh itu, kan?"

Pelan, aku mengangguk sambil berusaha menyusun kepingan tingkah random Reza yang pernah dia lakukan. Sampai kepada ucapan-ucapan Nindya yang mengatakan kalau abangnya itu sayang sama aku. Apa mungkin semua memang benar adanya?

"Sayangnya, Umi tidak bisa melepaskanmu bersama Reza. Umi tidak rela membiarkanmu menikah dengan lelaki pemabuk seperti dia."

"Mi, Bang Reza baru sekali itu kok menyentuh alkohol."

"Kamu membelanya?" Tatapan Umi seperti menguliti.

Aku terdiam, menunduk. Tak punya keberanian membalas tatapan Umi.

"Jangan bilang kalau kamu mulai menerima Reza, Dil."

Embusan napas Umi terdengar berat. Aku mencoba mengangkat kepala, menemukan raut wajah Umi yang penuh kekhawatiran. Kuraih kedua jemarinya.

"Mi! Umi jangan salah sangka dulu sama Dila. Dila nggak punya perasaan apa pun sama Reza. Umi tahu sendiri kalau dia bukan kriteria Dila. Dila hanya menghargainya sebatas mantan kakak ipar dan karena dia putra dari Mama Feni. Itu saja kok, Mi. Nggak lebih!"

Kedua sudut bibir Umi perlahan terangkat. Dia tersenyum. Sepertinya Umi merasa lega dengan penjelasanku barusan.

"Umi percaya Dila, kan?"

Umi mengangguk, lalu mengusap pelan kepalaku.

"Ya, sudah. Umi mau ke dapur dulu. Mau masak untuk makan malam kita nanti. Kamu istirahat saja. Atau kalau nggak, kamu makan makanan yang dibawain Reza tadi." Pandangan Umi mengarah pada buah tangan dari Reza yang bertengger di nakas.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang