Bagian 9

567 41 2
                                    

Reza dan Nindya sudah pergi. Mobil yang membawa mereka pun sudah tak lagi terlihat. Kedatangan dan celoteh Nindya masih menyisakan tanda tanya di pikiranku. Tadi, gadis itu bilang kalau Reza sayang padaku. Sudah kutepis pikiran yang terlalu percaya diri itu, tetapi sayangnya dia enggan beranjak. Naluriku masih ingin menyelami makna dari kata-kata Nindya tadi.

Reza. Pria itu memang menyebalkan, tetapi harus kuakui kalau di satu sisi dia sangat baik. Namun, tetap saja itu tidak bisa menutupi tingkahnya yang terkadang sangat konyol.

Ah, sudahlah! Tidak ada gunanya juga aku memikirkan Reza. Lebih baik sekarang siap-siap menjemput Umi.

***

"Tadi, Nindya menelepon Umi waktu Umi nungguin kamu menjemput." Umi membuka percakapan, ketika kami baru saja selesai berzikir dan berdoa, setelah menunaikan shalat Zuhur berjamaah di kamar Umi.

"Tadi dia main ke sini?"

"Iya, Mi. Maaf, Dila belum sempat cerita ke Umi," sahutku.

"Nggak apa-apa. Umi malah senang kamu ada yang menemani."

Umi membuka mukena dan melipatnya dengan rapi. Hal yang sama juga aku lakukan.

"Katanya, dia mau ajak kamu makan di luar nanti sore. Benar begitu?"

Aku mengangguk. "Dila nunggu izin dari Umi dulu."

Umi tertawa kecil. "Kenapa harus nunggu izin dari Umi. Kamu, kan, perginya sama Nindya. Bukan orang asing ini."

"Iya, sih, Mi. Cuma ...." Aku menggantung ucapan dengan malas.

"Cuma apa?"

"Reza juga ikut. Karena dia yang mau traktir kami."

Umi terdiam. Walau samar kulihat matanya berbinar.

"Dila risih, Mi."

"Kan, perginya sama Nindya juga."

"Iya, sih, Mi. Cuma, Dila nggak mau orang-orang salah sangka sama kami."

"Maksudnya?"

"Ya, nanti dikira Dila dan Reza ada apa-apanya. Dila nggak mau jadi fitnah. Sebagai seorang janda, bukannya Dila harus bisa menjaga diri?"

Umi mengangguk-angguk. "Iya, kamu benar. Umi nggak kepikiran sampai ke sana."

"Tapi, rasanya buat nolak permintaan Nindya, Dila kok rasanya nggak enak juga, ya, Mi."

Umi menghela napas, lalu berkata, "Dila, jangan lakukan sesuatu yang kamu sendiri ragu untuk melakukannya. Jangan hanya karena merasa nggak enak, terus kamu memaksa diri kamu demi membuat orang lain senang. Itu tidak bagus, Nak! Kamu harus berani menolak. Terserah kamu mau ngasih alasan apa."

Kali ini aku yang terdiam mencermati kata-kata Umi. Ya, Umi benar. Aku harus berani mengambil sikap. Buat apa memaksa diri jika kita sendiri tidak nyaman melakukannya?

Segera kuhubungi Nindya dan meminta maaf sambil mengatakan kalau aku tidak bisa ikut sore nanti. Kuutarakan alasan yang sebenarnya. Meskipun Nindya agak kecewa, tetapi dia akhirnya menghargai keputusanku.

"Padahal, tujuan kita ke rumah cokelat itu karena Kak Dila. Bang Reza juga yang memilih tempatnya biar Kak Dila senang."

Pernyataan Nindya kembali membuatku kembali diombang-ambing rasa. Ada pertanyaan yang semakin menumpuk di kepala. Namun, sepertinya aku belum bisa mendapatkan jawabannya dalam waktu dekat.

***

Malam telah beringsut ke peraduannya. Umi pun sudah tidur lebih awal setelah shalat Isya tadi. Sepertinya beliau kelelahan. Sementara aku masih betah berselancar di media sosial, karena mata belum mau terpejam.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang