Bagian 10

623 43 1
                                    

Diam seribu bahasa. Hanya itu yang terjadi antara aku dan Reza di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Aku pun tidak berniat bertanya atau bercerita dengannya. Sepertinya dia juga begitu.

"Terima kasih, Bang," ucapku, ketika mobilnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah.

"Sama-sama. Oh, ya, nanti motormu akan diantar ke sini kalau lekas selesai. Kalau tidak, nanti aku saja yang akan mengantar ke rumahmu."

"Duh, jadi ngerepotin. Biar saja aku yang jemput nanti kalau misal nggak keburu diantar ke sekolah. Abang kasih aja alamat bengkelnya sama aku."

"Jangan keras kepala!" bantahnya, tanpa menolehku.

Ya, sudahlah! Terserah dia saja!

"Aku turun dulu. Sekali lagi, terima kasih sudah membantuku. Maaf, kalau Abang jadinya telat ke kantor gara-gara aku."

"Mau basa-basi berapa lama lagi?" ketusnya.

Aku mendengkus kesal. Ya, Allah! Tadinya mau bersyukur, tetapi melihat tingkahnya kenapa aku malah merasa menyesal ditolong sama dia?

Setelah turun dari mobil Reza, aku tidak menoleh lagi ke belakang. Lagian, aku sudah terlalu telat. Suasana di halaman sekolah sudah sepi, semuanya pasti sedang berkutat di ruang kelas masing-masing.

"Bu Dila, baru datang?"

Sapaan Ramzi yang berpapasan denganku di depan kantor, membuat langkahku yang tadinya bergegas, langsung terhenti.

"Iya, Pak. Tadi, motor saya rusak."

"Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menggeleng. "Tidak. Alhamdulillaah, sudah teratasi dan motor saya sudah di bengkel. Eum, maaf, Pak! Saya masuk dulu, sudah telat."

Kutinggalkan Ramzi dan masuk ke ruang guru, mempersiapkan segala sesuatunya sebelum masuk ke kelas untuk mengajar.

Tubuhku rasanya tidak nyaman setelah kejadian tadi. Bagaimana tidak? Waktu mengengkol motor, peluhku berceceran, lalu setelahnya kena AC di mobil Reza. Sekarang rasanya lengket sekali. Kepala juga rasanya agak pusing. Rasanya mau mandi dan ganti baju. Sayangnya, aku tidak pernah membawa baju ganti. Sepertinya ini akan jadi pelajaran berharga untukku. Tidak ada salahnya selalu membawa baju ganti.

Aku mengecek jilbab putih yang kukenakan, kalau-kalau ada noda karena tadi aku sempat duduk di pinggir trotoar. Benar saja, di bagian ujung belakang, ada noda kecoklatan. Sebab jilbab segi empat yang kupakai berukuran lebar dan menutupi bagian belakang. Saat duduk tadi, aku lupa mengangkatnya.

Duh, kok, jadi nggak pede gini, sih?

Kueempaskan kembali tubuh di kursi. Rasanya hari ini benar-benar menguji kesabaran. Tarik dan embus napas, berulangkali kulakukan untuk menenangkan diri. Akhirnya, aku ke kamar mandi dulu untuk berwudu biar lebih segar. Setelahnya, barulah aku masuk ke kelas untuk mengajar. Walau pikiran masih tertuju pada jilbab yang kotor.

Eh, kenapa aku tidak meminta Umi mengirimkan baju lewat kurir saja? Ah, kenapa baru kepikiran sekarang, Fadilah?

***

Jam sekolah sudah berakhir. Namun, sampai sekarang motorku belum juga diantar. Mau menelepon Reza untuk bertanya, rasanya sungkan. Nanti malah diomelin lagi. Ya, sudahlah! Pasrah saja naik angkot.

"Kak Dila!"

Aku yang sedang duduk di halte depan sekolah menunggu angkot, langsung menoleh saat terdengar ada yang memanggil.

"Nindya?"

Gadis itu melambaikan tangan dan memintaku mendekat ke arah mobil Reza yang berhenti tak jauh dari halte.

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang