Bagian 22

457 40 6
                                    

Rasa kesal setelah dikerjai Reza tadi siang, terbawa sampai ke rumah. Bisa-bisanya dia bercanda untuk hal seperti itu. Mana aku juga sudah kadung serius menanggapinya.

"Dasar pria nggak ada akhlak!" umpatku seraya melempar tas ke ranjang. "Lain kali kalau dia menelepon, aku nggak bakal mau angkat."

"Dila? Kok, ngomong sendiri?"

Aku terkejut dan langsung menoleh ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Ternyata, Umi sudah berdiri di sana.

"Eh, Umi. Mmm, enggak apa-apa, Mi." Aku menyengir.

Umi menggeleng-geleng. Lalu, beliau berjalan masuk dan duduk di ranjangku.

"Tadi ketemu Ramzi?"

Aku menggeleng, melangkah ke meja rias dan mulai melepaskan jarum pentul dari jilbab. "Dia sudah mengundurkan diri dari sekolah, Mi."

"Maksud kamu?"

"Iya. Kata teman Dila, Ramzi mau melanjutkan kuliahnya. Sebagian lagi bilang, dia pindah mengajar ke sekolah yang lebih bonafit. Entah mana yang benar."

Dari cermin meja rias, aku bisa melihat kalau Umi tengah tercenung.

"Kenapa, Mi? Kok, Umi jadi melamun?" tanyaku.

"Ah, enggak. Ya sudah Umi keluar dulu, ya? Kamu pasti capek dan butuh istirahat." Umi bangkit dan bersiap meninggalkan kamarku.

Aku memutar tubuh dan menatap lurus punggung Umi. "Umi kecewa?"

Langkah beliau terhenti, lalu menoleh padaku. "Apa yang membuat Umi kecewa? Tidak ada, Dila. Seperti yang sudah Umi katakan, kamu adalah sumber kebahagiaan Umi. Jika kamu bahagia, kenapa Umi tidak?"

Setelah berkata demikian, Umi pun beranjak pergi. Meninggalkanku yang masih termangu.

Ingatanku kembali pada Ramzi. Masih jadi tanda tanya apakah kepergiannya benar-benar karena melanjutkan kuliah atau untuk menghindariku? Ya, Allah, seandainya aku bisa lebih tahu diri dan mengalah dengan permintaannya, pasti Umi sangat bahagia. Aku tahu Umi sangat kecewa. Kalau tidak, tidak mungkin beliau sampai jatuh sakit memikirkannya. Namun, karena menjaga perasaanku, Umi terpaksa memendam rasa itu.

Haruskah kucoba menghubungi Ramzi dan memintanya untuk memulai semua dari awal lagi? Dibanding Reza, Ramzi memang sangat memenuhi kriteria sebagai calon suami meskipun dia memiliki sifat yang keras. Namun, bukankah hal itu masih bisa ditoleransi jika berusaha saling memahami? Aku saja mungkin yang terlalu keras kepala. Mungkin, aku memang harus mencoba mengalah.

***

Pantas saja badanku rasanya tidak enak sejak semalam. Pegal dan perut terasa kram. Setelah shalat Subuh, ternyata tamu bulananku datang. Aku pun memilih berbaring setelah meneguk air hangat agar merasa lebih nyaman. Untuk sarapan, rencananya mau aku beli saja. Kalau dalam kondisi begini, malas sekali untuk turun ke dapur. Terlebih, Umi juga belum kuizinkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah termasuk memasak.

Aku mengutak-atik nomor kontak di ponsel. Seketika berhenti di nama Ramzi. Agak ragu, aku memilih nomor tersebut walau belum berani menyentuh tombol hijau untuk melakukan panggilan.

Apa iya, aku harus melakukan ini?

Apa iya meminta Ramzi mengubah keputusan akan membuat Umi bahagia?

Apa iya, dengan menurunkan harga diri semuanya akan baik-baik saja?

Bagaimana kalau Ramzi malah menolak dan menginjak-nginjak harga diriku karena dia merasa menang?

Berbagai pertanyaan berputar di kepala.

Akhirnya, setelah beberapa menit, kuurungkan saja niat itu. Karena keraguan yang ada begitu pekat dan hati nurani pun melarang.

Aku bangkit dari berbaring. Sudah hampir pukul enam dan aku harus segera membeli sarapan.

Setelah mengenakan gamis dan jilbab yang rapi, aku pun segera keluar dari kamar. Sebelumnya, aku menyempatkan diri untuk mengecek Umi ke kamarnya. Ternyata, Umi masih tidur. Eh, bukan. Umi sepertinya menyambung tidur setelah shalat Subuh. Terlihat dari mukena yang masih Umi pakai. Mungkin, udara yang sangat dingin membuat Umi enggan melepas mukena walau sudah berselimut tebal. Umi tampak nyenyak sehingga aku enggan untuk mengganggunya. Lagian, Umi masih butuh banyak istirahat.

Pelan, kututup kembali pintu kamar Umi agar suara deritnya tidak membuat Umi terkejut. Aku pun bergegas menuju warung sarapan pagi menggunakan motor. Meskipun bisa ditempuh dengan lima menit jalan kaki, tetapi lebih cepat akan lebih baik biar aku juga tidak terlambat ke sekolah.

***

Plastik berisi dua bungkus bubur kacang hijau kubawa ke dalam rumah. Aku pun langsung menuju ke ruang makan dan menuangnya ke dalam wadah kaca. Setelah menyeduh dua gelas susu, aku pun segera membangunkan Umi untuk sarapan bareng.

Saat masuk, aku membuka pintu dengan hati-hati. Suasana kamar Umi terasa hangat, karena jendela belum dibuka.

"Mi, bangun, Mi!" panggilku seraya menuju jendela. "Dila udah beli bubur kacang hijau. Nanti keburu dingin. Sarapan, yuk, Mi!"

Aku menyingkap gorden dan membuka jendela kaca tersebut. Udara segar terasa berlomba masuk ke dalam. Kemudian, aku mematikan lampu yang tadinya masih menyala.

"Umiiii, ayo, Mi! Bangun!" Aku mendekat ke ranjang Umi. Namun, Umi masih bergeming dalam posisi telentang dan mata tertutup rapat.

Aku tergemap memandang wajah yang baru kusadar terlihat pucat. Kusentuh pipi Umi, masih terasa hangat. Biasanya, Umi akan bereaksi jika disentuh begitu.

"Mi! Umi! Bangun, Mi! Ayo, kita sarapan! Nanti keburu dingin." Kali ini kugoyang-goyang lengan Umi. Sama saja. Umi masih tetap bergeming.

Jantungku mulai memompa dengan cepat. Pikiran buruk pun langsung menyergap. Kuletakkan telunjuk di depan lubang hidung Umi, tidak ada hawa panas terasa. Napasku mulai tersengal saat jemariku berpindah ke urat leher yang ternyata juga tidak ada denyut. Bahkan saat nadi di tangannya pun tak lagi terasa, napasku semakin sesak.

Dalam ketakutan, tangisku akhirnya pecah. Aku panik, tidak tahu harus berbuat apa selain berlari ke luar rumah dan memanggil siapa saja yang sedang lewat di kompleks itu.

***
 
Hari keempat kepergian Umi. Aku belum bisa menerima sepenuhnya. Semua terlalu cepat dan tiba-tiba. Aku belum sempat membahagiakan Umi.

Senyum di wajah Umi, ketika jenazahnya akan dikuburkan, tak bisa luput dari ingatan. Umi memang telah pergi dengan tenang, insyaa Allah husnul khatimah, tetapi aku yang ditinggalkan butuh waktu untuk hidup normal kembali. Bahkan aku enggan banyak bicara pada siapa pun yang datang. Termasuk kepada para kerabat dari keluarga Abi dan juga kerabat jauh dari pihak Umi. Mereka sempat menginap satu malam, sebelum akhirnya semua kembali ke kota masing-masing.

Sunyi pun semakin menyergap setelah mereka pergi, walau Mama Feni dan Nindya selalu setia menemani. Mereka rela meninggalkan rumah mereka sendiri sejak Umi meninggal dan memilih menginap di rumahku. Bahkan Reza juga ikut menginap dan rela tidur di ruang tamu.

Aku dengar, Reza bilang ke Mama Feni, kalau dia sengaja berbohong pada atasannya demi bisa pulang ke Bukittinggi. Dia beralasan sakit dan rela memakai jatah cuti tahunannya hanya agar bisa ikut menemaniku.

Tepat di hari kelima Umi meninggal, kata Mama Feni, aku ditemukan pingsan di depan kamar mandi. Mereka langsung membawaku ke rumah sakit dan akhirnya harus dirawat inap.

Aku jatuh sakit. Karena tidak sedikit pun makanan yang masuk ke perut sejak Umi meninggal. Padahal, Reza sudah berusaha membelikan semua makanan yang aku suka, tetapi tetap saja tidak bisa membuatku berselera.

Kepergian Umi, benar-benar membuatku terpuruk.

***

Sedih nggak sih? 😢

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang