Bagian 28

476 29 4
                                    

Neni tampak kaget saat aku menceritakan tentang Ramzi. Karena dia atau siapa pun di sekolah, tidak ada yang tahu perihal apa yang terjadi antara Ramzi dan aku.

"Hebat banget kalian menyimpannya sampai nggak ada satu pun dari kami yang tahu. Bahkan kamu nggak cerita apa pun ke aku sama sekali. Kamu udah nggak nganggap aku sahabatmu lagi, Dil?" cecar Neni bersungut-sungut.

"Ya nggak gitu juga, Nen. Aku cuma nggak mau ada gosip macam-macam di sekolah. Makanya, aku berniat ngasih tahu kamu dan yang lain kalau semua sudah jelas," sahutku.

Neni mengangguk-angguk. "Ooh, gitu. Baiklah, alasan diterima."

"Jadi, gimana menurutmu, Nen? Aku harus gimana sekarang? Soal Ramzi."

Neni menyesap jus mangganya sebelum balik bertanya, "Kamu sendiri, apa yakin kalau kamu bisa menerima Ramzi kembali dengan segala konsekuensinya?"

"Yaaa, gimana, ya? Aku cuma mau Umi bahagia, karena Umi suka sama Ramzi."

"Dil, sku minta maaf sebelumnya. Satu hal yang harus kamu sadari, bahwa umi kamu itu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tugas beliau sudah selesai di dunia. Beliau juga tidak akan bisa melihat apa yang kamu lakukan. Jangan memaksakan diri demi sesuatu yang memudharatkan hidupmu. Tugasmu membahagiakan Umi hanya tinggal satu cara saja, doakan beliau! Bukan dengan menikahi lelaki yang kamu sendiri tidak nyaman untuk menerimanya. Aku yakin, Umi juga pasti mau yang terbaik buat kamu. Lanjutkan hidupmu, Dil!"

Tengorokanku tersekat mendengar penuturan Neni. Mata terasa panas. Genangannya pun mengalir perlahan. Buru-buru kuhapus dengan usapan jemari. Aku tidak mau jadi pusat perhatian orang-orang di kafe yang lumayan ramai.

"Aku tahu kamu bisa memutuskan segala sesuatunya dengan baik, Dil. Libatkan Allah dan jangan ambil keputusan dengan perasaan saja. Ingat! Menikah itu bukan untuk sehari dua hari, tetapi kalau bisa seumur hidup. Jadi kita harus benar-benar selektif dalam mencari pasangan."

Aku mengangguk-angguk. Tak satu pun kata-kata Neni yang salah menurutku.

"Terima kasih sudah mau mendengarkan curhatanku, Nen. Kalau enggak ada kamu, aku pasti udah salah mengambil keputusan."

"Jangan bilang begitu, Dil! Jangan bilang kalau enggak ada aku, kamu bakal begini dan begitu. Karena itu bisa menyesatkan kita. Semua karena Allah. Allah yang menunjukkan pada siapa kamu harus bicara dan meminta pendapat."

"Astaghfirullaah," bisikku lirih, lalu mengusap wajah penuh sesal. Terkadang, lisan manusia memang tidak terkendali. Salah berucap saja bisa jatuh dalam kesyirikan.

"Bagaimana dengan Reza?"

Aku tergemap mendengar pertanyaan Neni yang tiba-tiba. Bagaimana bisa aku lupa bercerita tentang pria itu dan ungkapan cintanya tadi pagi. Duh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus bersikap padanya saat di rumah nanti.

"Dila!"

"Eh, iya, Nen? Eummm, Reza, ya? Dia itu ... ah, sudahlah! Aku belum siap bercerita tentang dia. Males!" kilahku. Lagian, aku merasa belum ada cerita tentang Reza yang harus kubagi dengan Neni.

***

"Udah mau magrib baru nyampe di rumah. Ditelpon nggak aktif. Mama tuh cemas nungguin kamu dari tadi."

Reza langsung mencecarku saat aku baru tiba di rumah dan dia menyambut di ambang pintu. Pria itu terlihat segar sekali dengan rambut basahnya. Sepertinya dia baru saja habis mandi. Eh, astaghfirullaah! Kenapa aku malah fokus ke oranngnya? Dia lagi marahin kamu, Dila!

"Baterai ponselku habis. Aku juga lupa bawa charger," jawabku, berusaha bersikap biasa. Padahal, masih jelas di ingatan kejadian tadi pagi di tempat ini.

"Teledor banget jadi orang. Lain kali, segala sesuatunya diperiksa dulu sebelum berangkat," imbuhnya.

Aku hanya mengangguk tanpa berani memandangnya.

"Udah, sana masuk! Mama sama Nindya lagi ke rumah Pak Lurah. Udah di jalan menuju pulang."

Duh, nggak ada Mama sama Nindya lagi! Masa iya aku berdua saja dengan pria ini di rumah? Aku 'kan mau mandi, ganti baju, bersih-bersih ... gimana kalau ... ?

"Aku menunggu di luar. Kamu nggak usah cemas!" ujarnya seolah tahu keraguanku.

Reza pun beranjak untuk memberiku jalan masuk. Lantas, ia duduk di kursi teras tanpa menoleh padaku lagi.

"Dila, tunggu!"

Langkahku tertahan mendengar titah Reza. Lalu, aku menolehnya. "Ya?"

"Soal tadi pagi ...." Reza memandangku sekilas sebelum membuang pandangan. "Lupakan saja kalau kamu merasa tidak nyaman!"

Aku terpaku sebentar, memindai raut wajahnya  yang tidak bisa kutafsirkan. Dia memang aneh karena sikapnya yang berubah-ubah. Bahkan aku ragu, kejadian tadi pagi apakah hanya karena emosi atau memang dari hatinya.

Detik berikutnya, tanpa berkata apa-apa, akhirnya kutinggalkan Reza begitu saja. Aku butuh mandi dengan segera untuk menyegarkan tubuh yang terasa lengket. Apalagi azan Magrib akan berkumandang lima belas menit lagi.

***

[Maaf, Bang. Sebaiknya kita tidak usah melanjutkan rencana kita. Karena aku rasa, ini seperti terlalu dipaksakan. Lebih baik Abang mencari perempuan lain yang bisa sepehamanan dengan Abang. Sekali lagi, aku minta maaf. Tolong, sampaikan juga maafku pada Tante Hani]

Kukirimkan pesan itu pada Ramzi setelah usai melaksanakan shalat Magrib. Aku tidak peduli apa pendapatnya tentangku. Yang jelas, aku sudah melepaskan beban hatiku dan tak lagi ragu untuk mengambil keputusan. Karena aku tidak mau menyesal di kemudian hari jika tetap memaksakan diri menikah dengan Ramzi.

Pesanku langsung dibaca. Namun, hanya dibaca tanpa dibalas. Bahkan hingga hitungan menit telah berlalu. Ah, biarkan saja! Yang penting aku sudah memberitahunya dan aku merasa lega.

"Kak Dila! Makan, yuk!"

Suara ketukan pintu diiringi panggilan Nindya dari luar kamar, membuatku sedikit terkesiap.

"Iya, Nin," sahutku dengan suara agak keras. Takut jika dia tidak mendengar.

Tak lagi menunggu lama, aku segera bersiap keluar kamar dengan menggunakan pakaian lengkap. Gamis, jilbab instan panjang dan kaus kaki. Ah, ribet sebenarnya hidup begini. Di rumah tetap harus menutup aurat dengan sempurna. Nggak bisa bebas. Coba kalau aku tinggal sendiri saja di rumah Umi.

***

"Bang Reza nggak ikut makan, Ma?" tanyaku, begitu pria absurd itu tak terlihat seperti biasanya.

"Dia masih di masjid," jawab Mama Feni sembari mengambil mangkuk yang berisi tumis kangkung.

Aku terbelalak. "Masjid?"

"Iya, tadi dia shalat Magrib berjamaah ke masjid. Katanya juga mau sekalian dengar pengajian. Jadi pulangnya habis shalat Isya aja palingan," tutur Mama Feni.

Aku menoleh Nindya. Gadis itu tersenyum geli, seperti memahami makna dari raut wajahku.

"Nggak usah kaget gitu, Kak Dila! Jangankan Kakak, aku dan Mama aja kaget banget tadi. Aku tadinya malah pengen ngakak pas dia pamit, tapi aku tahan. Lucu aja ngeliat dia pake gamis dan peci. Sepertinya Bang Reza sedang dalam mode hijrah." Nindya terbahak.

"Nindya ...." Mama Feni menegur dengan tatapan tak suka sehingga gadis itu langsung mengatup mulut dan memilih melanjutkan makan.

"Nggak boleh ngeledek abangmu kayak gitu! Harusnya kita bersyukur jika dia sudah mulai mau ke masjid. Selama ini Mama udah capek nasihatin supaya dia shalat ke masjid, tapi nggak digubris. Akhirnya sadar sendiri dia."

"Palingan juga mau memantaskan diri biar bisa menarik perhatian Kak Dila," celetuk Nindya cuek.

Aku dan Mama Feni terpaku dan spontan saling tatap. Lalu, aku pun berpura-pura menyibukkan diri dengan menyendok nasi dan memindahkannya ke piringku. Aku tidak mau makan malam kali ini jadi terganggu, karena aku sedang sangat lapar. Rugi rasanya jika aku kehilangan nafsu makan sebab masakan Mama Feni begitu lezat.

***

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang