Bagian 4

649 46 1
                                    

Wangi lembut yang sangat aku suka, khas kamar Mama Feni. Kami duduk di salah satu sudut kamarnya yang lumayan besar, beralaskan karpet dengan bulu yang tebal. Setelah saling bertukar cerita dan bercanda, Mama tiba-tiba terdiam sambil menatapku.

"Kalau ada kamu di rumah ini, Mama merasa Mizan kembali hadir di tengah-tengah kita," ungkap Mama. Ada serpihan kaca terlihat di kedua bola mata bermanik cokelat tua itu, meskipun bibirnya mengukir senyum.

Aku termangu, tenggorokan langsung terasa ada yang menyekat. Bahkan menelan saliva pun aku kesulitan.

"Dila, Mama mau kamu tetap menjadi bagian dari keluarga ini. Mungkin kamu bosan mendengar permintaan Mama. Akan tetapi, Mama tidak akan pernah menyerah sampai kamu menjawab keinginan Mama."

Lagi-lagi aku tidak bisa berkata apa-apa. Lidahku kelu untuk mengatakan apa sesungguhnya tujuanku datang ke sini. Aku hanya bisa terdiam dan menunduk.

"Kenapa kamu diam saja, Nak?" Mama menyentuh daguku dengan lembut. Sehingga aku terpaksa mengangkat kepala dan memberi seulas senyum padanya.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Ma," sahutku pelan.

"Oh, iya, kamu datang ke sini bukannya mau membicarakan sesuatu sama Mama? Soal apa itu? Apakah soal jawaban perjodohanmu dengan Reza?" berondong Mama, seperti tidak sabar. Kali ini matanya terlihat berbinar. Tak ada lagi serpihan kaca seperti tadi. Sebuah harapan terlukis di netranya yang mulai menua.

Aku kembali tercenung melihat ekspresi itu. Bagaimana aku harus menjawabnya? Jika kukatakan yang sesungguhnya, sudah pasti wanita ini akan sedih. Akan tetapi, aku juga tidak ingin memaksakan diri untuk menerima apa yang tidak aku sukai.

Kuraih jemari Mama dan menatapnya. "Ma, seandainya Dila menolak perjodohan dengan Bang Reza, apakah Mama akan marah?" tanyaku hati-hati.

Mama tampak sedikit terkesiap. Namun, dia segera tersenyum dan berkata, "Kenapa Mama harus marah? Itu hak kamu mau menerima atau tidak. Meskipun Mama dangat berharap kamu mau menerimanya, tetapi semua harapan itu tidak harus terwujud bukan?"

Aku merasa lega mendengar jawaban Mama.

"Maafkan Dila, ya, Ma? Dila hanya belum mampu membuka hati untuk lelaki lain. Mungkin, suatu saat ... entah itu dengan Bang Reza, atau siapa pun yang Allah kehendaki."

Mama mengangguk-angguk. "Iya, Mama paham sekali perasaanmu, Nak. Namun, Mama minta, kamu harus tetap jadi anak Mama. Kamu boleh datang ke rumah ini atau menginap kapan saja kamu mau. Pintu rumah Mama selalu terbuka untukmu, Dil. Jangan pernah berubah."

Mataku mengembun. Rasa sebak di dada tak dapat lagi kutahan. Tangisku pun pecah saat memeluk Mama. Beliau adalah wanita kedua setelah Umi yang menyayangiku dengan tulus, meskipun aku bukan anak kandungnya.

"Malam ini, kamu makan malam di sini, ya?" pinta Mama, setelah kami mengurai pelukan dan menghapus air mata.

"Kasihan Umi, Ma. Beliau sendiri aja di rumah," tolakku halus.

"Oh, iya, Mama lupa. Ya, sudah, nanti kamu bawa lauk dari sini, ya? Mama udah masak banyak padahal. Karena Mama kira kamu mau makan di sini."

"Iya, Ma. Maaf sekali lagi, ya, Ma?"

"Minta maaf terus, kek mau lebaran aja," canda Mama. Dia terbahak.

***

Hampir menjelang Magrib, aku bersiap meninggalkan rumah Mama. Padahal, biasanya aku akan menunggu magrib berlalu untuk bepergian. Akan tetapi, karena teringat Umi, aku memutuskan untuk tetap pulang. Mama dan Nindya pun mengantarku sampai ke teras. Sementara Reza tidak menampakkan batang hidungnya sejak tadi. Kupikir dia pergi ke luar, tetapi mobilnya masih terparkir di garasi. Mungkin dia sengaja ngumpet.

"Setiap malam minggu, kamu harus usahakan nginap di sini. Ajak umimu sekalian, biar beliau nggak kesepian. Kita rame-rame di sini," pesan Mama, saat aku sudah berada di atas motorku.

"Iya, Kak. Aku setuju sama Mama. Biar malam minggu kita jadi rame," sela Nindya penuh semangat, sebelum aku sempat menyahut.

"Insyaallah, Ma, Nin." Aku menggantungkan plastik berisi makanan di cantelan motor. Tas kulit warna hitam milikku juga kugantungkan di sana. Setelah mengenakan jaket, aku pun segera pamit dan melaju meninggalkan halaman rumah besar tersebut. Membawa sebuah perasaan lega karena telah berhasil menyampaikan keputusan yang telah kuambil. Tidak ada lagi beban di hatiku.

***

Aku sengaja mengendarai motor agak pelan. Mengingat jam segini jalan raya sangat ramai. Tiba-tiba saja sebuah mobil hitam memepetku. Aku nyaris oleng, tetapi bersyukur aku segera bisa menyeimbangkan. Akhirnya, aku memilih berhenti dan menepi. Mobil tersebut juga ikut berhenti tak jauh di depanku.

Bukannya itu mobil Reza? Ya, aku hafal platnya. Apa-apaan sih, dia? Tiba-tiba muncul begitu saja dengan cara yang tidak lumrah. Bisa kubayangkan kecepatannya dalam mengendarai mobil saat mengejarku. Apalagi di jalanan yang cukup ramai ini.

Tampak lelaki itu turun dan bergegas menghampiriku.

"Bang Reza? Ngapain tadi? Sengaja mau bikin aku celaka?" cecarku, tanpa membiarkan dia bersuara lebih dulu.

"Maaf," ucapnya singkat. Pandangannya mengedar ke segala arah.

"Gampang banget minta maaf setelah mau bikin orang celaka. Nanti aku bilang sama Mama baru tahu rasa!"

"Bilang aja! Kamu pikir aku takut sama ancamanmu?" gertaknya dengan ekspresi cuek.

Benar-benar memantik emosiku lelaki satu ini. Aku beristigfar dalam hati, menarik dan mengembus napas agar marahku tidak pecah di tempat umum seperti ini.

"Maaf, aku mau pulang," kataku, lalu menyalakan mesin motor.

"Aku mau bicara." Reza menahan bagian depan motorku.

"Kenapa saat aku di rumah tadi Abang tidak bicara? Kenapa harus dengan cara mengejar dan mencegatku di tengah jalan begini?" Marahku akhirnya pecah juga. Namun, dengan suara tertahan agar tidak menarik perhatian orang-orang.

"Kamu menolak perjodohan kita?" tanyanya tanpa mengindahkan pertanyaanku.

"Iya. Bukankah Abang juga maunya begitu?" balasku. Kami saling bertatapan beberapa detik. Sampai akhirnya sama-sama membuang pandangan.

Reza mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu."

"Ada pertanyaan lagi?"

Terlihat ragu, Reza menggeleng dan akhirnya menyingkirkan tangannya dari motorku. Seolah-olah memberiku jalan untuk lewat.

Tak lagi menunda waktu, aku segera pergi meninggalkan lelaki itu, seiring jingga yang semakin memudar di ufuk barat.

***

Dasar lelaki aneh! Tingkahnya random banget. Kenapa coba, kalau mau ngomong sesuatu sama aku harus dengan mencegatku di jalan atau dia datangi aku ke sekolah? Harusnya, dia bisa datang ke rumah atau bicara melalui telepon saja. Bukan dengan cara-cara yang menurutku aneh begitu.

Apalagi permintaannya yang mau ngajak aku ke reunian teman-temannya. Nggak banget, kan? Aku ini lho, bukan siapa-siapanya. Malah ngajak nikah lagi minggu depan. Duh, memang pria aneh. Pantas saja belum ada perempuan yang mau sama dia.

Ah, ngapain aku malah mikirin Reza yang absurd itu? Mending aku istirahat dan tidur. Besok pagi harus ke sekolah dengan pikiran jernih. Eh, bagaimana dengan Ramzi? Aku malah lupa cerita tentang dia sama Umi. Saking kesalnya sama sikap aneh mantan kakak iparku.

***

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang