Bagian 26

472 37 9
                                    

Hari demi hari tak terasa bergulir begitu saja. Sebenarnya ada rasa tidak enak tinggal di rumah Mama, karena aku seorang janda dan ada Reza yang masih bujangan. Apalagi, kami sudah tidak memiliki ikatan apa-apa lagi sejak Mizan meninggal. Namun, kebaikan yang mereka tawarkan melebihi saudara sendiri. Bahkan keluarga Abi dan Umi tidak pernah lagi menanyakan kabarku sejak Umi meninggal.

Rumah peninggalan Umi belum ada yang menyewa. Setiap tiga hari sekali, aku selalu menyempatkan diri singgah ke sana untuk membersihkannya. Tak lupa menyetel ayat-ayat rukiyah agar tidak ada makhluk lain yang tinggal di rumah tersebut. Terkadang aku pergi sendiri sepulang sekolah, terkadang pas Nindya ada di rumah, dia pun ikut bersamaku.

Ramzi berulangkali menanyakan kapan dia bisa datang ke rumah. Namun, aku masih enggan untuk membicarakan itu dengan Mama Feni sehingga aku terus memberi alasan apa saja untuk menunda kedatangan pria itu.

Tentang Reza, sekarang dia sudah punya pekerjaan baru di perusahaan lain. Karena perusahaan yang lama tidak bisa mengabulkan permintaannya untuk pindah kembali ke Kota Bukittinggi. Sebab sudah tidak ada posisi yang bisa Reza gantikan di sana. Dengan bekal pengalaman kerja yang tidak main-main, Reza dengan mudah mendapatkan pekerjaan baru dengan jabatan yang lumayan bagus.

Pada suatu hari Minggu sore, aku baru pulang dari membersihkan rumah Umi seorang diri. Nindya tidak ikut karena harus menemani Mama pergi ke pesta anak sahabatnya. Begitu sampai di halaman rumah Mama, aku melihat ada mobil asing terparkir di sana. Sepertinya sedang ada tamu. Karena pintu depan juga dibiarkan terbuka lebar.

Aku memilih lewat pintu samping agar tidak  mengganggu tamu tersebut. Siapa tahu itu tamu penting Mama atau Reza.

Baru hendak menekan gagang pintu, secara bersamaan ada yang melakukan hal yang sama denganku. Saat pintu terkuak, Reza berdiri di depanku.

"Maaf, aku lewat samping. Lagi ada tamu soalnya takut ganggu," kataku.

"Nggak apa-apa. Kebetulan tadi aku lihat kamu datang dan berjalan ke halaman samping. Makanya aku bantu bukain pintu," paparnya.

"Makasih, Bang."

"Kenapa telat pulang? Biasanya sebelum asar udah balik." Pertanyaan Reza seolah tengah menginterogasi.

"Tadi, aku diajak mampir sama ibu-ibu kompleks yang kebetulan lagi ngumpul. Nggak enak kalau nolak. Akhirnya malah kebablasan."

Reza mengangguk-angguk. Eh, kenapa dia jadi seperti Mama bertanya seperti itu?

"Ya sudah, buruan masuk!" Reza memutar tubuh hendak meninggalkanku. "Habis mandi, kamu ke ruang tamu, ya? Ada Helen."

"Kak Helen?"

"Iya." Reza terus berjalan tanpa menoleh lagi.

Helen datang lagi? Sahabat seperti apa sih, dia itu? Waktu Reza mabuk, dia meninggalkan Reza begitu saja tanpa ada rasa setia kawan. Lalu, sekarang dia datang bertamu seolah tidak pernah melakukan kesalahan.

Tak lagi berpikir panjang, aku segera menutup pintu dan menguncinya kembali. Saat menuju kamar, bisa kudengar suara gelak tawa di ruang tamu. Sepertinya Mama dan Nindya juga ada di sana.

***

Merasa lebih segar setelah mandi, aku memilih duduk di ruang makan saja sambil menikmati segelas cokelat hangat. Aku tidak berniat ikut bergabung dengan mereka ke ruang tamu. Lagian, aku bukan bagian dari cerita mereka. Jadi, buat apa?

Sambil menggulir layar ponsel, aku menyesap perlahan minuman hangat dari cangkirnya. Rasa lelah seketika lenyap setelah tadi membersihkan rumah Umi.

"Lho? Malah duduk di sini, Dil."

Meniti Cinta Kedua (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang