CH.1 ALVINO-RANIA

874 31 2
                                    

Jakarta, Tahun 2008

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, Tahun 2008

"Anak Sialan! Anak Brengsek! Mau lari kemana, lo?"

Teriakan lantang dari seorang pria dewasa. Matanya memancarkan kilatan tajam dan wajahnya berwarna merah padam. Dia menyorot penuh  kebencian kepada anak laki-laki berusia 10 tahun yang berlari menjauhinya tanpa mengenakan alas kaki.

Anak laki-laki itu terus mengayunkan kedua kakinya dengan  tergesa-gesa. Banyak pasang mata yang melihat kejadian itu tapi hampir dari mereka bersikap biasa seolah hal tersebut sudah bukan hal yang baru. Hanya beberapa saja yang berkomentar dengan nada iba.

"Kasihan Alvino, masih kecil tapi setiap hari selalu dipukul terus sama si Handoko. Memang Handoko, Bapak yang bejat," cibir salah satu tetangga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah si anak laki-laki bernama, Alvino. Alvino Bagaskara.

"Heh! Manusia-manusia rumpi ... mending lo pada urus kehidupan sendiri. Jangan ikut campur urusan keluarga orang. Mau gue hajar, lo!" teriak pria yang baru saja memukul kasar anak laki-lakinya sendiri hanya karena emosi akibat kalah berjudi. Handoko, Bapak kandung dari Alvino Bagaskara.

***

Alvino kecil  berjalan dengan tertunduk lesu. Langkah kakinya menyusuri jalanan sempit yang berada di daerah tersebut. Daerah pemukiman padat penduduk yang terletak di dekat bantaran kali Kota Jakarta. Sekelilingnya banyak ditemui warung-warung kecil dan beberapa gerobak makanan yang sorenya akan mereka gunakan untuk berjualan.

Alvino menaiki anak tangga yang terbuat dari gundukan tanah untuk menuju kampung sebelah. Di atas sana terdapat aliran air kali yang mengalir cukup deras akibat debit air yang sedang tinggi.

Wajah Alvino yang tirus dan memiliki warna kulit sawo matang, terlihat dipenuhi dengan luka lebam kebiruan. Mata obsedian yang memiliki sorot tajam, sesekali menyipit dan sebelah sudut bibirnya terangkat sedikit. Terdengar ringisan kesakitan saat ibu jarinya menyentuh luka di bagian bibirnya.

Matanya menatap nanar gumpalan awan mendung yang saat ini menghiasi langit di atas kepalanya.

Alvino meletakkan kedua sikunya pada tembok pembatas kali dan telapak tangannya dia tangkupkan pada dua pipi di wajahnya sebagai penyanggah. Matanya kini turun mengamati banyaknya genangan sampah hasil perbuatan orang-orang tidak bertanggung jawab yang selalu membuang sampah di bantaran kali.

"Kalau hujan, pasti rumah gue banjir lagi," keluh Alvino membayangkan apa yang akan terjadi nanti jika kembali turun hujan.

"Siapa suruh buang sampah sembarangan."

Tiba-tiba, dari arah kirinya terdengar suara celetukan  anak kecil perempuan. Dia secara mengejutkan sudah berdiri tepat di sebelah Alvino. Entah kehadirannya yang begitu cepat atau memang Alvino yang tidak menyadarinya.

Anak perempuan yang memiliki tinggi badan di bawah Alvino. mengenakan pakaian yang terlihat mahal, tengah mengamati serius wajah Alvino yang penuh lebam.

BLACK ROSE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang