Zanna berbaring miring di atas sofa dengan paha Arkan ia jadikan bantal. Keduanya menatap ke arah televisi. Arkan sesekali menunduk kemudian tersenyum bahagia melihat Zanna begitu dekat, berbaring di pangkuannya lalu kembali menyaksikan tayangan di televisi. Selama di Bandung dia begitu merindukan gadis itu, rasanya ingin cepat-cepat pulang untuk segera bertemu dengannya.
Berbeda dengan Arkan yang fokus pada adegan film, Zanna menatap kosong karena kegelisahan yang bergelayutan di otaknya, ia seolah menjadi tahanan sebab kemanapun ia melangkah Arkan terus membuntuti, memantau dirinya. Saat ini yang diperlukan adalah tenang dan bersabar, saat Arkan lengah ia akan mencari cara agar bisa berbicara dengan Revan tanpa diketahui pria itu. Ia yakin papa-nya akan mampu melindunginya.
Mata Zanna hampir terpejam akibat punggungnya yang ditepuk-tepuk pelan membuatnya begitu nyaman. Sentuhan seperti ini sudah biasa Arkan lakukan padanya di saat mereka masih sangat dekat sebelum pria itu terkesan menghindarinya dan sebelum adanya ciuman-ciuman yang memperumit segalanya.
Kala telapak tangan pria itu menelusup masuk dan mencubit pelan punggungnya, tubuhnya seketika meremang. Lantas ia duduk dan bersingkut mundur menjauh. Sebelah alis Arkan naik seolah mengatakan 'kenapa?'
Gelagapan, Zanna memutar otak untuk mencari alasan. Ayolah dia hanya ingin sendiri dan ingin berbicara dengan papa-nya untuk mengadukan semua kelakuan Arkan.
"Ssss mau pipis" ucap Zanna ber-akting seperti orang yang sedang menahan kencing.
"Yaudah pipis dulu" balas Arkan santai, kemudian kembali fokus pada televisi.
Dalam hati Zanna tersenyum senang, ia rasa sudah mampu mengelabui Arkan. Ia berdiri kemudian berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Zanna mengunci kamar dan mengaitkan slot karena ia tau betul Arkan memiliki duplikat kunci kamarnya.
Ia merogoh saku celana training yang ia kenakan, mengambil sebuah ponsel dari sana. Jarinya mengulir layar mencari kontak Revan dan langsung menghubunginya.
Telfonnya tersambung akan tetapi belum ada yang mengangkat hingga terdengar bunyi 'tut' pertanda panggilan tak terjawab. Ia kembali menelefon, lagi-lagi tersambung tetapi papanya belum mengangkat.
"Please please please, angkat pa" batinnya memohon.
Jantungnya berdetak begitu kencang, ketiga kali dia masih mencoba dan masih saja telfonnya tidak diangkat.
"Pa angkat dong!" dalam hati ia berteriak frustasi.
Terdengar suara pintu diketuk, siapa lagi kalau bukan Arkan. Arkan merasa keanehan karen Zanna terlalu lama. Awalnya ia khawatir dengan gadis itu tapi kemudian pikiran jahatnya seolah mengatakan Zanna sedang merencanakan sesuatu. Tak seharusnya dia menuduh gadis itu sembarangan tapi entah kenapa firasat itu begitu kuat, Zanna pasti akan melakukan hal yang bisa membahayakan.
Lebih baik memastikan sebelum penyelasan datang bukan?
"Zan" panggil Arkan sembari terus mengetuk pintu kamar gadis itu pelan. Ia memutar kenop berusaha membukanya akan tetapi pintu itu sama sekali tidak terbuka. Lalu ia merogoh kunci di saku celana, setelah menemukannya ia memasukkan kunci itu ke lubang kunci dan memutarnya. Ia kembali menggerak-gerakkan kenop, tetapi pintu tetap tidak terbuka. Pikiran-pikiran buruk di otaknya membuat dirinya mengetatkan rahang merasa tegang sekaligus marah. Dari awal ketukan pelan kini mengedor-ngedor pintu bak kesetanan.
"Zanna! Buka pintunya!" teriak Arkan dari luar kamar gadis itu.
Zanna panik, telapak tangannya berkeringat dingin, mulutnya terus mengucap permohonan agar Revan segera mengangkat telfonnya. Kembali menekan ikon panggil untuk yang ke-enam kalinya, mata Zanna mulai berkaca-kaca karena papa yang ia harapkan mampu melindunginya sama sekali tidak mengangkat telfonnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSANE MAN
RomancePria yang sudah Zanna anggap sebagai pelindungnya, kakaknya, memiliki sisi tegas tapi juga lembut, perlahan mulai gila sejak ciuman pertama mereka. Seharusnya ciuman itu tidak pernah ada karena mengakibatkan hubungan keduanya menjadi rumit. Arkan t...