02

49.5K 891 8
                                    

Zanna membuka mata perlahan, melihat di sampingnya sudah tidak ada siapa-siapa. pukul 07.12 masih terlalu pagi untuk bangun di hari libur, akan tetapi kantuknya sudah hilang dan memilih ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci wajah.

Merasa fress setelah mencuci wajah, Zanna keluar kamar, kini dapur adalah tujuannya. Turun ke bawah, ia melihat Arkan kini berdiri di tengah-tegah dapur memegang spatula depan kompor, tampak ia sedang memasak sesuatu di atas teplon.

Mendengar derap langkah Zanna, Arkan menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kegiatannya.

"Udah bangun?" pertanyaan retorika ia lontarkan.

Zanna yang mencium sosis dan telor yang digoreng melangkah mendekat. Duduk di kursi di sisi konter dapur memandang punggung tegap Arkan yang masih berkutat di depan kompor.

Beberapa menit kemudian, Arkan memberikan secangkir susu hangat di atas meja di hadapan Zanna dan juga piring yang berisi sosis dan ommelet yang baru saja matang. Ia juga mengisi piringnya dengan menu yang sama kemudian duduk di hadapan gadis itu, melahap hasil masakannya sendiri.

Berdua saja di rumah karena orang tua mereka sedang berada di luar kota menghadiri acara pernikahan anak laki-laki tante Naya kakaknya Mamanya mengharuskan mereka untuk meginap di sana. Kenapa ia dan Arkan tidak ikut? Sebab ia beralasan tak bisa ketinggalan pelajaran padahal dia ingin pergi ke perayaan ulang tahun sepupu Cassy, sementara Arkan pada saat itu masih berada di Bandung mengurus kerjaaannya di sana.

Zanna menyelesaikan sarapannya, membawa piring kotor ke westafel mulai mencucinya. Arkan juga ternyata sudah selesai, merasakan Arkan yang mendekat dengan membawa piring kotor miliknya, Zanna inisiatif mengambil piring dan gelas di tangan Arkan untuk dia cuci, "aku aja kak" ujarnya menghindari menatap langsung wajah Arkan.

Melihat tingkah kikuk dan canggung gadis itu membuatnya merasa geli. Barangkali ciuman itu seharusnya tidak dia lakukan dan kini Zanna terkesan berusaha menghindari, tak mau menatapnya, beruntung gadis itu masih bersedia sarapan dengannya. Tapi ciuman semalam sama sekali tidak meninggalkan penyesalan untuknya yang dia sesali adalah durasinya yang begitu singkat terlalu singkat. Masih ia ingat betapa tegangnya Zanna di saat bibir mereka menyatu. Di malam-malam sebelumnya ia selalu memimpikan gadis itu, membayangkan adiknya membuka diri untuk ia sentuh, dan semalam mimpi itu terwujud, ia merasakan manisnya bibir ranum gadis itu.

Selama ini dia selalu berusaha menghindari Zanna apabila gadis itu mendekat, mencegah gadis itu bermanja padanya seperti yang biasa mereka lakukan disaat Zanna masih kecil. Memfokuskan diri pada pekerjaan dan rela bolak balik Jakarta-Bandung semata-mata untuk menghindari adiknya, mencegah dirinya berbuat buruk pada adiknya. Tapi semua pertahanannya kini runtuh, bagaikan karet yang terus ditarik hingga pada akhirnya lepas membuatnya sudah lepas kendali tak mampu menahan lebih lama lagi terbukti dengan dirinya yang secara impulsif mencium bibir merah jambu gadis itu. Tuhan tau dia seberapa keras berusaha untuk menghilangkan perasaan yang seharusnya tidak ada, berusaha menjaga adiknya dari bejadnya dirinya. Tapi sekarang ia sudah tidak peduli, ia akan membiarkan hati dan tubuhnya yang seolah memaksa untuk terus mendekat dan berbuat lebih

Zanna menegakkan punggung tegang akibat tangan kekar yang kini memeluknya. Seolah tak cukup untuk membuat jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat, kini Arkan menyandarkan dagunya di bahunya, napas berat laki-laki itu berembus di leher membuat tubuhnya meremang.

"Kak?" Zanna mencuci tangannya dari bekas sabun cuci piring. "Kak lepasin" pintanya gugup.

Arkan tak mengindahkan permintaan Zanna dan semakin mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di leher gadis itu menghirup dalam aroma tubuhnya. "Kenapa? Kakak gak boleh peluk kamu?"

Zanna menggeleng, "aku udah besar kak, kakak gak boleh peluk-peluk kayak gini" jelasnya. Ia semakin keheranan dengan perubahan sikap Arkan yang awalnya menjauhinya kini berusaha menempel padanya.

"Zan" panggil Arkan.

"Ya kak?" Zanna otomatis menyahut, berpikir keras apa yang akan diucapkan kakaknya. Semoga saja Arkan tak membahas perihal ciuman semalam, sebab ia tak ingin membicarakannya, ingin melupakan seolah kejadian itu tak pernah terjadi.

"Soal ciuman se-"

"Kak, gak usah dibahas" Zanna menyela. "A-aku tau kakak khilaf kan? kakak terbawa suasana, karena emang suasana mendukung, kata guru agama kalau laki-laki sama perempuan berduaan pasti ada setan diantaranya. Lagipula aku adik kakak dan kakak adalah kakakku, ja-jadi anggap aja itu gak pernah terjadi" ucapnya dengan tersenyum aneh.

"Gak bisa semudah itu lupain yang semalem Zan" bagaimana ia bisa menganggap ciuman yang mereka lakukan tak pernah terjadi di saat dia begitu ingin megulanginya. "Dan kita bukan saudara kandung Zan"

"Ta-tapi tetep saja kan? Kita udah seperti saudara pada umumnya" ujar Zanna pelan. Perutnya tiba-tiba terasa nyeri karena menahan gugup.

"Kita tidak sedarah, orang tua kamu bukan orang tua kandung aku, kan kamu sendiri tau aku berasal dari mana" ucap Arkan. Tentu saja ia selalu mengingat posisinya di keluarga ini seperti apa. Anak panti asuhan yang diadobsi sepasang suami istri yang putus asa tidak akan mempunyai anak setelah penantian yang cukup lama, tetapi dikaruniai anak setelah mereka mengadobsi dirinya. Mengingat asal-usulnya membuat ia berusaha keras menepis perasaannya untuk adiknya, ia merasa menghianati orang yang sudah ia anggap orang tua karena tak mampu menjaga putri mereka dari kebejatan dirinya yang selalu memimpikan gadis itu meyerahkan diri dibawah kuasanya menikmati setiap lekuk tubuhnya. Dan sekarang ia sudah tak peduli, Tuhan pasti tau seberapa usahanya selama ini untuk melupakan keinginannya itu.

Mendekap tubuh Zanna membuatnya merasa tenang. Seolah kepenatan akibat pekerjaan yang menumpuk sirna kala ia melihat dan berada di dekat gadis itu. "Kakak rasanya pusing mikirin kamu"

Tak tau maksud perkataan Arkan, Zanna hanya diam tak menanggapi.

"Kakak boleh cium kamu?"

Pertanyaan tiba-tiba Arkan buat Zanna gelisah. Ia menarik tubuhnya hingga pelukan Arkan terlepas.

Arkan menaikkan sebelah alisnya melihat Zanna membuang muka dan memilin jemarinya lantaran gugup.

"Kak, a-aku mau mandi" ucapnya lalu melewati Arkan berusaha kabur.

Arkan menarik lengan gadis itu tak membiarkannya melarikan diri sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan. "Zan, kamu nolak kakak?" tanyanya, raut wajahnya dibuat sedih berharap gadis itu merasa kasihan.

"Aku gak mau!" tolak Zanna. "Aku sudah bilang aku adik kakak, ki-kita tak seharusnya begini"

Ia mengeratkan cengkramannya di lengan Zanna, merasa terluka akan penolakan yang diucapkan gadis itu. Ia meneliti wajah gadis itu mencoba mencari tahu sedikit saja kalau Zanna juga menginginkan dirinya seperti dia yang begitu menginginkan gadis itu.

Mendapatkan jawaban yang tak sesuai harapan membuatnya sakit hati, ia menatap tajam adiknya.

"Kak" rengekan gadis itu mengisyaratkan meminta untuk dilepaskan.

Merasa kasihan dengan ekspresi ketakutan Zanna, Arkan akhirnya melepaskan tangannya dari lengan gadis itu. Dan tentu saja Zanna langsung berlari ke kamarnya meninggal Arkan yang menatap punggung gadis itu yang kian menjauh.

To be continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue

INSANE MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang