7. Mulanya Kebencian

246 61 254
                                    


Seorang pria tua dengan singlet putihnya yang sedikit kotor, duduk sendirian di kursi goyang kesayangannya. Menikmati alunan gerimis di malam ini selalu menjadi favorit pria itu.

Sorot mata yang begitu menyedihkan, ditambah garis keriput yang tercetak jelas diwajahnya, pertanda dirinya yang berantakan. Faisal beralih menatap rindu bingkai foto sang istri yang sudah hilang sejak beberapa tahun yang lalu. Ia rindu wanita itu, tak sekalipun ia absen memandang foto Ibu Sadewa setiap harinya.

Flashback On

11 November 1977, Ratusan mahasiswa menyemut, para jiwa muda yang memberontak, mereka yang benci akan ketidakadilan, mereka muak akan degradasi moral, dan rindu akan lahirnya kebebasan.

"TURUNKAN SOEHARTO!"

Para tentara menyerbu, menyerang mahasiswa pemberontak tanpa kenal ampun. Bahkan mereka sudah berani memasuki kampus-kampus guna mencari mahasiswa tersebut. Suara tembakan menggema, malapetaka yang sungguh memilukan, beberapa tubuh tergeletak tanpa nyawa di aspal panas tersebut.

Tidak ada yang tahu, diantara kerumunan yang panas tersebut. Seorang anak kecil berjongkok ditengah-tengahnya. Ia menutup mata dan telinga rapat-rapat. Tubuhnya bergetar ketakutan kala mendengar suara tembakan yang begitu menyeramkan. Sadewa kecil berteriak memanggil sang Ibu.

"IBU, LANGIT TAKUT!"

Sedangkan tak jauh dari tempat Sadewa berada, wanita berbaju biru berlari kesana-kemari mencari keberadaan putranya. Wanita yang tak lain adalah Fumiko Nara, Ibunya Sadewa, berteriak memanggil nama sang anak sesekali memutar pandangan ke segala arah.

Keadaan sangat kacau saat satu benda melayang hampir menimpa Fumiko. Untung sang suami sigap melindungi Fumiko dengan menarik tubuhnya sebelum benda besar itu melukainya.

"Nara! Kamu tidak terluka kan?" Tanya Faisal terlihat panik. Fumiko membalas dengan gelengan kepala singkat, ia mengguncang bahu suaminya dan berkata, "Mas, Sadewa hilang! Aku Ibu yang ceroboh karena tidak bisa menjaga putraku."

"Kita harus segera mencari Sadewa, kasian dia ... Sadewa pasti ketakutan disana. Kalau dia kenapa-kenapa, kalau sampai dia terluka, lebih baik aku-" Faisal membungkam mulut istrinya. Ia tak ingin mendengar kelanjutan kalimat yang diucapkan oleh Fumiko.

Dengan segera, Faisal dan Fumiko berjalan mencari keberadaan Sadewa. Untungnya Faisal melihat Sadewa yang berjongkok tak jauh dari tempat mereka berada. Ia segera mendekap erat tubuh anaknya sembari mencium pipi Sadewa setulus hati.

"Ayah Dewa takut ..." Lirih Sadewa dengan air mata mengalir di pelupuk matanya. Faisal tersenyum hangat, "Dewa jangan takut, ada Ayah yang akan selalu melindungi Dewa. Ayah tidak akan membiarkan anak Ayah terluka."

Faisal membawa Sadewa dalam gendongannya. Keluarga kecil itu berlari tergesa-gesa menuju mobil mereka yang berjarak lumayan jauh. Faisal menghidupkan mesin mobil dan menjalankan kendaraan miliknya dengan kecepatan tinggi.

Setelah mobil tersebut membawa mereka menjauh dari kerumunan, Faisal baru menyadari sesuatu.

Sialan!

Para tentara itu mengikuti mereka dari belakang. Sepertinya tentara bodoh itu mengira bahwa mobil yang mereka kejar itu milik para pemberontak yang hendak kabur. Fumiko ketakutan, Ia mendekap erat tubuh Sadewa. Fumiko menangis merasakan firasat buruk yang bergejolak dihatinya.

"Langit dengar ucapan Ibu ya ... Langit anak Ibu yang paling istimewa. Jangan pernah membenci siapapun, jangan pernah menyakiti siapapun. Langit anak baik. Apapun masalah yang Langit hadapi suatu saat nanti, Langit gak boleh menyerah. Karena setiap orang akan selalu diberi cobaan oleh Tuhan supaya lebih kuat. Kalau Langit sudah besar, Langit mau jadi apa?"

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang