15. Bulan & Matahari

147 46 168
                                    

"Ini adalah tindak kejahatan, pak. Apa tidak sebaiknya bapak laporkan saja ke polisi? Bahkan ini sudah sampai tahap pelecehan. Kasian anak itu." Ujar dokter Lim, selaku dokter yang menangani Sadewa. Pria itu membenarkan kacamatanya yang melorot. Kedua alisnya menekuk kala Pak Ahmad mengeluarkan sebuah map.

"Apa ini, Pak?" Ahmad tidak membalas apapun. Ia hanya mengisyaratkan dokter Lim untuk segera membuka map-nya. Kedua mata sipit dokter tersebut sontak melotot. Mapnya diisi penuh oleh uang. Bahkan selama menjadi dokter, ia sama sekali tak pernah melihat uang sebanyak ini.

"Uang itu akan menjadi milik anda, tapi ada hal yang harus anda lakukan." Ucap Ahmad. "Apa yang harus saya lakukan?" Tanya balik dokter tersebut. Dokter Lim mulai tergiur. Uang sebanyak ini, sayang sekali jika ia tolak, bukan? 

Pria berkemeja biru itu hanya tersenyum simpul sembari berkata, "Anda hanya harus bekerja sama dengan saya." Kening dokter itu berkerut, ia memandang Ahmad dengan penuh tanya, "kerjasama apa?"

Pak Ahmad kembali mengeluarkan sebuah berkas yang merupakan surat perjanjian. Ia menyuruh dokter Lim untuk segera membacanya. "Jika anda mau, silahkan datang ke alamat saya. Tapi kalau anda enggan, maka uang itu akan saya ambil lagi. Dan juga akan ada uang tambahan jika anda bersedia bekerja sama."

Dokter Lim tertawa tersenyum licik. "Pria ini gila." Batinnya. Pak Ahmad langsung berdiri dari tempatnya, ia ingin segera pergi dari ruangan ini. Namun sebelum pergi, pria itu sempat mengatakan sesuatu.

"Periksa kesehatan organ-organ Sadewa, pastikan dia sehat. Anak itu terlalu banyak menderita."

.....

Sejak dibawa kembali kerumah sakit, Kini kondisi Sadewa sudah mulai membaik. Hanya saja jiwanya sudah tak sehat. Bayangan malam itu selalu berputar di kepalanya. Sadewa merasa pusing bukan main. Hatinya sakit, rasanya hidup pun suatu kesalahan.

Sadewa memukul-mukul kepalanya sendiri, seolah pukulan itu mampu menghalau pikirannya tentang malam itu. Perbuatan ayahnya benar-benar merapuhkan dirinya hingga ke tulang belulang.

"Arrrgghhh, benci, benci, Benci! Dewa benci Ayaaaah."

"Dasar manusia kotor, bodoh, menjijikkan! Seharusnya kamu melawan waktu itu, Dewa!" Lelaki itu mencerca dirinya sendiri. "Ibuuu, sakit, semuanya sakit, Bu."

Jihan yang baru datang usai membeli makanan, lantas terkejut saat melihat Sadewa memukul-mukul kepala bagai orang depresi. "Dewa udah, berhenti!" Jihan menahan kedua tangan Sadewa. Perempuan itu menyaksikan langsung bagaimana perilaku semesta yang selalu menggerogoti rembulannya hingga hancur. Jihan ikut merasakannya, rasa sakit yang hampir memusnahkan akal sehat Sadewa.

Punggung yang dulu kokoh dan tegar menghadapi kejahatan semesta, kini berguncang hebat. Jihan memeluk tubuh yang bergetar itu dengan erat. Ia menepis setiap tangan Sadewa yang hendak kembali memukul kepalanya.

Perlahan pergerakan Sadewa mulai memudar. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya di dekapan Jihan. Hanya sebuah pelukan mampu membuat Sadewa jauh lebih tenang. Pelukan yang cukup lama, mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Jihan mengusap-usap punggung Sadewa, berusaha menguatkan lelaki yang sudah diambang kata menyerah.

Jihan melepas pelukannya. Kedua netranya menyorot teduh sembari kedua tangannya menghapus buliran air mata di wajah Sadewa.

"Dewa perhatikan baik-baik kata aku. Dewa gak kotor, Dewa bukan hal yang menjijikkan yang seperti orang-orang pikirkan. Justru, Dewa-nya Jihan itu berlian."

"Semesta memang jahat. walaupun begitu, semesta punya cara sendiri untuk menempatkan masing-masing manusia."

"Sadewa paling berharga, kamu paling indah yang pernah aku temukan di semesta yang menyeramkan ini."

Gerakan tangan Jihan terhenti. Ia beralih ke sebuah makanan yang ia beli tadi. Sebuah kue pancong khas Betawi kesukaan Sadewa. "Kamu pasti belum makan. Makanan rumah sakit gak enak jadi aku belikan ini." Tak bisa dielakkan, perut yang terasa kosong ini mendadak meronta-ronta minta diisi. Terlalu meratapi takdir, Sadewa sampai tidak menyadari bahwa dirinya kelaparan.

Bungkusan kue pancong tersebut diletakkan di atas perutnya. Jumlahnya Lumayan banyak, Jihan memang sengaja membeli banyak karena ia tahu persis seberapa favoritnya makanan ini bagi Sadewa. Sadewa pernah cerita, kalau kue pancong adalah makanan yang sering diberikan Ibunya saat ia masih SD.

"Jihan, ini terlalu banyak." Membaca pergerakan Sadewa, Jihan lantas tersenyum manis. Dirinya senang, senang bahwa akhirnya Sadewa bisa diajak berkomunikasi setelah sebelumnya lelaki itu diam dan bergelut dengan pikiran negatifnya.

"Makanlah, semua ini milik Dewa. Jangan ada yang tersisa." Jihan membuka bungkusan itu, "mau aku suapin Dewa?" Sadewa menolak, ia tak ingin merepotkan Jihan lagi. Lagipula, ia sudah bisa makan sendiri. Bekas sayatan pisau di telapak tangannya juga sudah mulai membaik.

"Aku maksa nih?" Jihan menyodorkan potongan kue pancong tepat ke mulut Sadewa. "Buka mulut kamu, Dewa. Aaaaaaaa ... Nah, gitu, Rembulanku penurut juga, hehehe." Sadewa mengunyahnya dengan perlahan, sebab pukulan Faisal masih terasa nyeri di rahangnya.

"Gimana, enak?"

Sadewa mengangguk, "Enak, Tapi Jihan, kenapa kamu panggil aku Rembulan?"

"Rembulan itu indah Dewa. Sinarnya lebih cantik dibanding matahari. Gak tau kenapa, aku selalu keinget kamu jika memandang bulan. Kamu tau kenapa?"

"Kenapa?"

"Karena kamu Indah, Dewa. Sama seperti bulan. Dia yang paling bersinar diantara bintang-bintang, dia sederhana, tapi menakjubkan. Sinar bulan tidak menyakitkan, Dewa. Bulan selalu setia menemani malam. Malam yang menakutkan, malam yang gelap, malam yang sunyi, namun jika ada bulan, semua itu tak terasa."

Tertegun, Sadewa hanya bisa tertegun membaca isyarat Jihan. Lelaki itu merasa takjub. Bagaimana bisa Jihan menyamakan dirinya dengan Bulan? Jelas Sadewa merasa tak pantas. Bulan yang luar biasa, dan dirinya? Hanya manusia cacat.

"Dan, aku adalah mataharinya." Batin Jihan terasa sesak. Setelah itu, Jihan hendak beranjak pergi karena mendadak ada suster yang memanggilnya.

Saat ia sudah keluar dari ruang inap. Mata yang sedari tadi panas, akhirnya mulai menumpahkan airnya. "Ibarat Bulan dan Matahari. Sampai dunia hancur pun. Tuhan gak akan ngizinin mereka untuk menyatu. Karena pada dasarnya, mereka hanya berdiri sesuai masanya. Siang dan malam. Mereka berbeda. Berbeda segala."

"Sama seperti kita, Dewa."

.....

Yang sudah sampai sini, terimakasih😚

SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA, PAYPAY👋 🙆‍♀️

....

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang