16. Kamera Canon

152 50 191
                                    

Satu kata untuk Sadewa, Manis. Jika gula dan lelaki itu disandingkan, mungkin saja semut-semut akan memilih mengerubungi Sadewa. Jujur saja, goresan-goresan luka di wajah itu seolah gak mempan untuk memperburuk wajahnya. Jihan tak munafik, memandangi Sadewa yang masih terlelap, padahal jam sudah menunjukkan pukul 08.14 pagi, tak membuatnya bosan.

Wajah Sadewa terlihat damai, dan ia juga tidur dengan nyenyak. Mungkin karena semalam Pak Ahmad memberinya obat tidur. Karena saat larut malam pun Sadewa belum memejamkan matanya. Bayangan mengerikan itu selalu muncul dan mengganggu tidurnya.

Semenjak keluar dari rumah sakit, Sadewa gak pernah kembali kerumah. Sadewa masih trauma dengan pria yang ia sebut ayah itu. Pak Ahmad membawa Sadewa kerumahnya, pria itu bahkan ingin mengambil hak asuh untuk Sadewa. Soal Faisal, biar pria itu saja yang ngurus. Barang-barang penting bagi Sadewa juga dibawa. Salah satunya buku diary, dan buku-buku pengetahuan lainnya. Meskipun memiliki keterbatasan, Sadewa tetap rajin belajar dan menuntut ilmu walaupun bukan sekolah tempatnya.

Terkadang Jihan penasaran, apakah keberadaan ia disini mengubah alur kehidupan Sadewa dimasa depan? Jika ia, maka perempuan itu bertekad kuat menarik Sadewa dari genggaman nestapa. Ia belum tahu pasti alasan dirinya dikirimkan kesini. Selama ini ia hanya mengikuti alur saja.

Gerakan tangan Sadewa membuyarkan lamunan Jihan. Lelaki itu mengerjap-ngerjap mata, lalu tersadar ada Jihan disebelahnya. "Aku baru saja mau membangunkan kamu." Isyarat Jihan sebelum Sadewa bertanya.

Sadewa mengangguk mengerti. "Yang lain dimana?"

"Pak Ahmad dari pagi pergi, katanya ada urusan. Kalau Rony pergi ke sekolah."

Sadewa baru ingat kalau Rony itu masih sekolah. Mereka memang sebaya, namun entah kenapa wajah Rony kelihatan lebih dewasa dari dirinya. Dari lubuk hatinya, sebenarnya Sadewa iri dengan Rony. Temannya itu tidak serba kekurangan seperti dirinya. Rony bisa sekolah dan menikmati kehidupan remaja pada umumnya. Sedangkan dirinya hanya bisa berandai-andai saja.

Senyuman cantik terbit dibibir Jihan. Perempuan itu memicingkan mata menatap lelaki didepannya. Sadewa mengernyit heran, "Kamu kenapa senyum-senyum Jihan?" Tanya Sadewa. Jihan berdecak sebal, "Serius, kamu gak inget ini hari apa?" Sadewa terlihat berpikir, lalu ia menggeleng tak ingat.

"Hari ini hari ulang tahunmu Dewa! Selamat ulang tahun rembulan!" Jihan bertepuk tangan riang. Senyuman Jihan melebar menampilkan gigi putih yang berjejer rapi. Bibir tipis lelaki itu melengkung, matanya mulai berkaca-kaca.

Hari ulangtahunnya, Sadewa sama sekali belum pernah merayakan hari spesialnya itu semenjak Ibu pergi. Sadewa tidak lupa, ia hanya mengabaikannya. Sejak itu, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan kata 'selamat ulangtahun' untuk dirinya.

Orang itu adalah Jihan Almira.

"Kamu tau darimana hari ini ulangtahun ku? Padahal aku belum memberitahumu, Jihan?"

"Tuhan yang membisikkannya," balas Jihan sekenanya. Perempuan itu mengambil sesuatu yang ada didalam kotak. "Aku ada hadiah untukmu."

Kedua mata Sadewa berbinar-binar saat menerima hadiah dari perempuan itu. Ekspresinya terlihat bahagia sekali. Mulutnya tak henti ber-wahh kendati tak ada suara pun yang keluar.

Sebuah kamera Canon yang Jihan beli sehari sebelumnya, mampu membuat Sadewa gembira bak anak-anak yang habis diberi permen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah kamera Canon yang Jihan beli sehari sebelumnya, mampu membuat Sadewa gembira bak anak-anak yang habis diberi permen. Ekspresi lelaki itu membuat Jihan gemes sendiri. Ia mengacak-acak puncak kepala Sadewa dan membiarkan rambut itu berantakan.

Sadewa mengarahkan kamera tersebut hendak memotret Jihan. Satu matanya tertutup, dan satunya lagi fokus mengatur sudut yang tepat. Menyadari itu, Jihan langsung mengatur wajahnya, tersenyum manis.

Ckrek

Suara khas kamera terdengar ditelinga Jihan. Buru-buru perempuan itu mendekat demi melihat hasil jepretan perdana Sadewa.

"Jihan, kamu cantik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jihan, kamu cantik." Ucap Sadewa dengan jujur, karena itu pipi Jihan merah merona dibuatnya.

Jihan mengambil kamera itu dari tangan Sadewa. "Gantian, sekarang kamu yang aku foto." Jihan mengarahkan lensa kamera kearah Sadewa. Dibalik lensa, bisa terlihat ekspresi Sadewa yang kaku, pasalnya ia bingung harus melakukan apa. Sadewa gak bisa bergaya. Alhasil hanya ekspresi datar yang ia keluarkan. Namun Jihan tetap memotretnya, bagi perempuan itu Sadewa terlihat lucu dengan ekspresi tersebut. Jihan tertawa geli saat melihat hasilnya.

Sadewa berusaha merebut foto dirinya. Lelaki itu malu, pasti dirinya jelek sekali difoto itu. "Jihan, jangan diketawain. Aku malu." Jihan berangsur mundur, berusaha menghalau tangan Sadewa yang hendak merebut foto itu. Jihan menjulurkan lidah mengejek, tawanya keluar kala melihat ekspresi marah Sadewa yang justru tidak terlihat marah.

"Jangan jadi jahat, Jihan. Kemari kan foto itu, nanti aku marah sama kamu."

"Gak mau, wleee ..." Isyarat Jihan sembari menjulurkan lidah mengejek. Hal itu membuat Sadewa geram.

"Jihan, kamu mirip wewe gombel!"

Jihan tertawa lepas. Yang benar saja, bisa-bisa lelaki itu menyamakan dirinya dengan wewe gombel. Ia menjauh dari tempat Sadewa, berdiri didekat pintu kamar sambil tersenyum jahil kepada Sadewa yang masih terduduk ditempat tidur, memandanginya dengan mata yang memicing seolah mengatakan, "awas saja kamu, Jihan."

Kalau sudah begini, Sadewa hanya pasrah. Ia gak mungkin bisa menggapai Jihan, dirinya lumpuh. Sekali lagi, Jihan bertindak usil terhadap dirinya. Perempuan itu kembali memotret Sadewa tanpa aba-aba. Hasil foto itu keluar dan Jihan menunjukkannya kepada Sadewa, tentu saja dengan ekspresi menyebalkan.

"Jihan, kamu benar-benar mirip sundel bolong." Ekspresi Sadewa terlihat marah. Namun entah kenapa di mata Jihan lebih terlihat seperti anak yang ingin menangis.

"Tadi katanya wewe gombel?"

"Gak jadi. Sundel bolong lebih cocok."

"Bolong dong punggung aku." Jihan terkekeh kecil.

"Makanya kasih aku foto itu. Biar kamu jadi bidadari."

"Gak mau, foto ini mau aku pajang di dinding kamar aku." Senyuman miring terbit diwajahnya, "Setiap malam aku pandangi foto ini, biar kamu gak nyenyak tidur karena di pandangi terus sama Sundel bolong."

Bagi Sadewa, Jihan terlihat seperti Mbah dukun yang ingin menyantetnya. Sadewa sebisa mungkin berekspresi seram, seperti para preman preman yang berkeliaran di Jakarta. Namun entah kenapa Jihan tak merasa takut. Apa ekspresinya belum terlihat seram? Padahal ini sudah diambang batas kemampuannya.

"Aku akan ngasih foto ini, asalkan kita piknik besok." Jihan tersenyum ceria, ingin sekali rasanya ia menghabiskan waktu bersama Sadewa. Hanya berdua, menikmati keindahan alam bersama cemilan cemilan lezat. Toh, sudah saatnya Sadewa berbahagia bukan?

"Harus mau, titik."

.....

Part selanjutnya mereka akan piknik ... hehe

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang