28. Tokoh Favorit (END)

230 22 1
                                    

Beberapa hari sudah berlalu, dan kini Jihan terlihat sibuk membersihkan debu-debu dirumahnya. Semenjak bangun dari koma, Jihan lebih sering diam dan menyendiri. Banyak hal yang berbeda sejak ia kembali, entah mengapa Jihan sangat merindukan Sadewa. Ia merasa kehilangan dan masih mencoba mengikhlaskan lelaki itu.

Keputusan Jihan untuk meninggalkan rumah ini sudah bulat. Namun sebelum pergi, Jihan akan memilah barang yang harus dibawanya. Termasuk juga barang-barang Sadewa yang masih utuh tanpa tersentuh.

Nantinya, Jihan berencana untuk menempatkan barang Sadewa di ruang khusus dirumah barunya kelak.  Jihan bersyukur, meskipun namanya tak pernah tertulis digaris kehidupan Sadewa, mengenal dan mencintai lelaki itu sudah lebih dari cukup.

Seusai melipat pakaiannya, Jihan langsung memasukkan beberapa lukisan Sadewa disebuah kotak besar. Semua barangnya sudah selesai dikemas dan kini ia sedang membereskan barang-barang peninggalan Sadewa

Senyumnya mengembang sendiri kala menatap foto Sadewa yang berlatar hitam putih didinding kamar tersebut. Ia memanjat dan mengambil foto itu.

"Kamu tahu Dewa ... Meskipun kamu tak mengenalku, tak masalah bagiku."

"Aku benar-benar mencintaimu, bahkan jika dibandingkan Ammar, perasaan ini jauh berbeda."

Jendela yang terbuka, membuat angin sejuk masuk dan menerpa perempuan itu. Terasa sunyi, bulu-bulu dikulitnya meremang. Entah karena udara yang sejuk atau karena hal lain, Jihan merasakan kehadiran Rembulannya disini.

Buku-buku yang tersusun, menjadi yang terakhir Jihan rapikan. Saat dirinya mulai mengangkat buku-buku untuk memasukkannya ke kotak, selembaran kertas terjatuh dari himpitan buku tersebut.

Ia lantas menuduk dan mengambil selembaran itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat wajahnya yang terasir indah dikertas tersebut.

Perasaan, Jihan sama sekali tak pernah melukis ini. Apa mungkin Ammar atau Kirana? Mustahil, mereka berdua payah dalam melukis. Lalu siapa yang melukis ini? Tidak mungkin ... Ah sudahlah.

Saat hendak berbalik, Jihan terkejut lantaran pandangannya disambut oleh lelaki tinggi yang berdiri tepat dihadapannya.

"Sadewa."

Jihan tidak salah lihat kan? Rembulannya ada didepannya? bahkan tatapan itu masih sama. Apakah ia berhalusinasi? Sepertinya tidak. Sadewa benar-benar nyata. Jihan tak mampu berkata-kata, seluruh tubuhnya lemas. Ia langsung terduduk dilantai dengan tangan menutup mulutnya.

Secara tidak langsung, airmata itu kembali menetes. Ah, Jihan memang cengeng. "Sadewa? Ini benar Sadewa nya Jihan?" Ucapnya dengan suara pelan, bahkan nyaris seperti berbisik.

Tak bohong, Sadewa sangat tampan bak pangeran di negeri dongeng. Bahkan, terlihat seperti permata yang dikelilingi cahaya. Lelaki itu berjongkok, menyamakan pandangannya pada Jihan. Tak ada luka, hanya senyuman manis yang Sadewa tampilkan untuk Jihan.

"Iya ini aku, Rembulannya Jihan."

Suara Sadewa terdengar jelas ditelinga Jihan. Perempuan itu menangis bahagia. Mendengar suara lelaki itu untuk pertama kalinya, membuat Jihan meremang sekujur tubuh. Ia lantas memeluk lelaki itu penuh kerinduan.

Oh, Tuhan. Apa ini mimpi? Apa ini hanya halusinasi belaka saja? Jika iya, tolong jangan sadarkan dirinya.

Tak ada hal yang lebih berat, daripada kehilangan orang yang dicintai bahkan sebelum kita bisa memilikinya. Jihan sadar, ia hanya singgah dan mengulang kisah Sadewa. Namun sama sekali tak terpikirkan olehnya bahwa ia akan jatuh, jatuh sedalam-dalamnya pada lelaki tunarungu wicara tersebut.

"Aku rindu, aku rindu kamu Dewa."

"Aku senang kamu bahagia, aku senang kala bisa mendengar suaramu. Dewa." Ucap Jihan disela-sela isakannya. "Aku tak tahu apa maksud semesta, Dewa. Kupikir dengan hadirnya aku dikisah kamu itu akan merubah segalanya, namun ternyata tidak. Takdir tetap sama, Dewa. Maafkan aku ..."

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang