"Ayahmu menjualmu, Sadewa. Ia menjual kamu kepada pak Ahmad. Pak Ahmad akan mengambil jantung kamu untuk menggantikan jantung Rony yang lemah."
Pernyataan Jihan kemarin sontak membuat pikiran Sadewa kembali berantakan. Ia berpikir berulang kali, masih tak menyangka mereka yang ia sayangi akan sejahat itu. Sadewa itu manusia, ia bukan barang yang bisa dijualbelikan. Ia berhak hidup, lantas kenapa mereka ingin membuat dirinya tiada?
Apakah keselamatan Rony jauh lebih penting. Lelaki itu yang sakit, kenapa harus ia yang bertanggung jawab.
Tuhan, tolonglah ... Jangan dirinya, Sadewa masih ingin melihat Jakarta dimasa depan. Sadewa masih ingin melihat dunia modern yang katanya akan segera datang. Sadewa berharap pada semesta, untuk berpihak pada dirinya kali ini saja.
Tercium bau aroma masakan yang berasal dari dapur. Jihan sedang memasak untuk makan siang mereka.
Entah mengapa perasaan Sadewa mendadak tak enak. Ia mengamati Jihan dari kejauhan lalu tersenyum penuh arti. "Jihan, terimakasih atas waktumu. Tetap tersenyum mataharinya Dewa. Dewa sayang Jihan."
BUKHH!
Tubuh Sadewa seketika ambruk, pukulan kuat dari tongkat dibelakangnya seolah meremukkan tulang punggungnya. Tubuhnya diseret keluar rumah. Seiring itu pandangannya terus tertuju pada Jihan yang berlari kearah dirinya sembari berteriak memanggil namanya. Pandangannya mulai mengabur, detik itu juga Sadewa tak sadarkan diri.
"SADEWAAA!"
"TOLOONGG, JANGAN BAWA! JANGAN BAWA SADEWAAA!" Teriaknya kala orang-orang itu berhasil membawa Sadewa dan memasukkan lelaki itu kedalam mobil. Jihan berusaha sekuat tenaga mengejar mobil mereka. Ia harus kuat, ia harus menyelamatkan rembulannya.
Jihan terus mengejar mobil itu meskipun kakinya terasa sakit karena menginjak bebatuan kecil. Jantungnya berdetak cepat, kepalanya sakit bukan main. Namun hal itu ia hiraukan karena keselamatan Sadewa jauh lebih penting sekarang.
Tiiinnn!
Suara klakson mobil terdengar begitu menyeramkan. Kepanikan Jihan berujung celaka bagi dirinya. Perempuan itu terduduk ditengah aspal sembari memegang kepalanya yang berdenyut-denyut. Pusing bukan main, jantungnya semakin cepat bahkan detak-detaknya terdengar ditelinganya.
Sedangkan mobil itu kian dekat, jaraknya mulai menipis kendati remnya rusak. Pandangannya kunang-kunang, selain detak jantungnya, Jihan juga mendengar suara-suara yang ia kenali, memanggilnya diluar alam sadar.
"Selamatkan putri saya, Dok!"
"Pasien mengalami kejang!"
"JIHAN! JANGAN TINGGALKAN GUE!"
"Ya Allah, putri hamba."
"Periksa kecepatan detak jantungnya!"
Mendadak semuanya terhenti, mobil, orang-orang, burung-burung dilangit, semuanya mematung. Aktivitas bumi berhenti kendati Jihan yang terus meraung kesakitan di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadewa 1987
Teen FictionSUDAH END , PART LENGKAP Ibarat Bulan dan Matahari. Sampai dunia hancur pun, Tuhan tidak akan ngizinin mereka untuk bersatu. Karena pada dasarnya, mereka hanya berdiri sesuai masanya. Siang dan malam. Mereka berbeda, berbeda segalanya Sama seperti k...