20. Takut Kehilangan

127 37 86
                                    

Tergesa-gesa, Jihan berlari sekencang mungkin menuju rumah Rony. Perempuan itu keringat dingin tatkala rasa takut memenuhi pikirannya. Ia, tak salah dengar kan? Jihan harap mereka hanya membual saja.

Ia membuka pintu rumah yang kebetulan tidak terkunci. Jihan berteriak memanggil Sadewa namun tak ada sahutan. Sial, sangking paniknya dia, sampai-sampai melupakan kalau Sadewa tak mungkin mendengar.

Akhirnya Jihan bisa bernafas lega. Sadewa disini, duduk di kursi dekat meja belajar, menatap dirinya heran. Mata Sadewa terlihat sembab, karena laki-laki itu habis menangis. Jihan datang dan langsung memeluknya. Punggung gadis itu gemetar.

"SADEWAAA, AKU PIKIR KAMU HILANG."

"AKU PIKIR KAMU DIBAWA SAMA MEREKA!"

Jelas Sadewa kebingungan. Jihan datang-datang langsung memeluknya, bahkan perempuan itu menangis. Sadewa tidak mengerti.

Perlahan, Jihan melepas pelukannya lalu menatap nanar Sadewa. "Kita pergi, kita pergi dari sini, Dewa." Sadewa mengernyit heran. Kenapa, kenapa harus pergi?

"Rony sakit, Jihan. Dia sakit jantung koroner. Kita harus kerumah sakit sekarang, Rony membutuhkan kita."

Terkejut bukan main, Jihan lantas mematung membaca perkataan Sadewa. Jujur, Jihan baru mengetahuinya sekarang. Ia bingung pasalnya selama ini papanya gak pernah memiliki riwayat penyakit jantung. Apa jangan-jangan papanya merahasiakan ini darinya?

"Sakit jantung?"

Sadewa mengangguk, "Rony kritis, Jihan. Dia butuh donor jantung, aku sedih, aku gak mau kehilangan sahabat aku."

Jihan menggeleng lemah, ia menggenggam tangan Sadewa dan memaksa untuk mengikutinya. Jihan mengerti sekarang, ini keadaan darurat. Namun tetap saja, Jihan tak ikhlas bila itu Sadewa.

.....

Flasback on

Karena bosan dirumah, Jihan berinisiatif untuk menemui Sadewa. Dengan wajah natural tanpa polesan make-up, Jihan masih tampak cantik. Bahkan orang-orang yang berlalu lalang kehilangan fokus gegara dirinya.

Diseberang sana, Jihan melihat mobil Pak Ahmad yang berhenti mendadak di depan rumah Sadewa. Jihan tak mengerti. Sepertinya pria itu terburu-buru makanya tak menyadari kehadiran Jihan.

Ekor matanya terus mengikuti langkah Pak Ahmad yang sudah memasuki rumah sambil membawa sebuah koper. Jihan lantas berlari kecil, penasaran dengan apa yang dilakukan pria itu.

Jihan berusaha mencari posisi yang tepat untuk menguping pembicaraan mereka.

Bisa dilihat, Faisal yang tampak berantakan. Bahkan pria itu menatap nyalang kehadiran Ahmad. "Mau apa kamu kesini, Sialan!" Maki Faisal. Pria itu berdiri berhadapan dengan Ahmad, memegang kerah baju pria dihadapannya dengan penuh amarah.

"Kamu tahu kan, betapa durhakanya anak itu?! Dia meninggalkan ayahnya sendiri demi mencari keluarga yang lebih kaya."

"ANAK SIALAN ITU, DIRUMAH KAMU BUKAN? BAWA DIA KEPADAKU, SEKARANG!"

Pak Ahmad tampak tenang, tak ada takut sedikitpun yang ia rasakan jika berhadapan dengan Faisal. "Saya kesini karena ada sesuatu yang penting."

Faisal mengernyit heran, ia melepas cengkramannya lalu duduk di kursi sembari menunggu Ahmad bicara.

"Hal penting apa?" Tanyanya seraya memerhatikan foto istrinya. Pak Ahmad menghela nafas panjang, "Saya dengar anda sangat membutuhkan uang akhir-akhir ini bukan? Utang anda sangat menumpuk karena kalah berjudi terus."

"Meremehkan saya?" Tatapan Faisal menajam.

"Saya kemari untuk menolong anda, Pak Faisal."

Koper yang sejak tadi dipegang, kini disodorkan langsung ke Faisal. Pak Ahmad tersenyum miring lalu membuka koper itu didepan Faisal. Koper itu dipenuhi dengan uang, Faisal terbelalak mengetahui uang itu adalah uang asli.

"Hak anda mau menerima uang ini apa tidak. Tapi, jika anda ingin uang itu, anda harus menyetujui permintaan saya."

Faisal tersenyum senang, ia meraba-raba uang itu dengan mata berbinar. Ia bisa kaya mendadak jika begini. "Permintaan apa?" Tanya Faisal tak memalingkan wajahnya dari uang-uang itu.

"Jual Sadewa untuk saya."

Faisal membeku ditempat, begitu pun Jihan yang sedari tadi menguping. Faisal masih mencerna ucapan Ahmad barusan, ada sedikit goresan dihatinya. "Maksudnya?" Netra tua Faisal terus menyoroti Ahmad.

"Anak saya sakit. Saya butuh Sadewa untuk menyembuhkannya. Berapapun akan saya bayar, asalkan an—"

"Anda ... Akan bayar saya berapa?" Kalimat yang keluar dari bibir Faisal sontak membuat Jihan panas. Perempuan itu menutup kedua telinganya, tak kuasa mendengar lebih percakapan dua manusia bajingan itu. Jihan tak menyangka kakeknya akan sejahat ini.

"Berapapun yang anda mau."

"Kenapa harus Sadewa? Apa anak itu bisa berguna?!" Faisal terkekeh kecil kendati ada gejolak amarah yang membingungkan dibenaknya.

"Saya butuh organnya. Saya butuh jantung Sadewa. Saya butuh organ Sadewa lainnya untuk menyelamatkan perusahaan saya."

Jihan lemes ditempat, ia marah, ia tak ikhlas. Mereka jahat. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana perasaan Sadewa ketika tahu dirinya dijual ayah kandungnya sendiri. Sadewa pasti sangat sakit, Sadewa pasti kecewa.

Dengan segera Jihan berlari keluar untuk mencari Sadewa. Jika sudah begini, lebih baik Jihan membawa pergi Sadewa menjauh dari orang-orang tak punya hati seperti mereka.

Flashback off

......

"Nama aku, Sadewa Langit Baskara, panggil saja Dewa."

"Aku Ayudia Gintari, ayo kita berteman mulai sekarang."

"Ayudia, sambalnya berserakan didekat bibir kamu. Aku izin bersihin ya."

"Ayo keliling Jakarta menggunakan sepeda ini! Ayudia."

"AYUDIA SAYANG DEWA!"

"Buka mulut kamu, Dewa. Aaaaaaaa ... Nah, gitu, Rembulanku penurut juga, hehehe."

"Jangan jadi jahat, Ayudia. Kemari kan foto itu, nanti aku marah sama kamu."

"Dia anak yang nyebelin, Ayudia. Aku saranin jangan dekat-dekat dia kalau kamu tidak mau kena jahil."

"Kalau begitu, apa aku pantas mencintaimu, Ayudia?"

"Pipimu merah, Ayudia. Jadi mirip stroberi, hehehe."

Mimpi Jihan semalam, sungguh menganggu pikirannya hingga detik ini. Jihan tidak mengerti. Apa-apaan ini?

Memainkan peran? Jadi selama ini Jihan sama sekali tak mengubah apapun. Lalu, untuk apa dia disini? Kenapa kisah yang ia buat selama ini, sama seperti yang Ayudia lakukan dulu.

Jihan menangis dalam diam. Jadi ... selama ini Sadewa tak pernah merasakan kehadirannya. Sadewa tak mengenalnya, bahkan sosok Jihan tak pernah tertulis dikisah abadi Sadewa. Ia hanya singgah dan mengulang kembali kisah Sadewa, dan melakoni tokoh Ayudia Gintari—Ibunya.

Takdir memang suka bercanda, yaa ...

"Mama, mama beruntung banget."

.....

Siapa Ayudia Gintari?

Bentar lagi cerita ini tamat😔

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang