10. Cinta Pandangan Pertama

203 62 292
                                    

••"Secantik apapun senja disana. Seindah apapun hamparan laut dan ombak ombak. Itu akan terasa hambar jika tidak melihatnya bersama kamu"Sadewa Langit Bagaskara

.....

"Papa?"

Netranya membulat sempurna, kedua tangannya membekap mulut tak menyangka. Apakah ini sungguhan? Rony adalah papanya saat masih muda! Jihan tak bisa berkata-kata.

"Papa? Lo manggil gue Papa?" Tanya Rony kebingungan. Jihan tak menjawab, perempuan itu terdiam dengan berbagai pertanyaan yang melayang dipikirannya. Kenapa papanya bisa disini? Papanya punya hubungan dengan Sadewa? Atau ini cuma kebetulan saja? Jihan bingung.

Karena pertanyaannya tak kunjung dijawab, Rony menghalau pandangan Jihan menggunakan tangannya. "Hei, ada masalah?" Jihan tersadar. Ia menolehkan wajahnya menatap Rony. Sangat canggung. Jihan bingung harus menjawab apa.

Sadewa yang semulanya diam memerhatikan pun ikut bertanya, "Jihan, kamu tidak apa-apa kan?" Tanyanya tentu dengan bahasa isyarat.

Membaca pergerakan tangan Sadewa, Jihan seketika mengangguk mantap. Ia berdiri dan berekspresi seolah-olah ada sesuatu yang genting. "Dewa, aku balik duluan ya ... aku lupa mematikan TV." Setelah mengatakan itu, Jihan langsung melangkah pergi, tak lupa juga ia melambaikan tangan perpisahan kepada Sadewa dan Rony.

Seiring dengan langkah panjangnya, mulut Jihan tak henti berkomat-kamit. "Pantes nama dan wajahnya gak asing. Ehh, ternyata papa gue dong! Malah masih muda lagi!" Jihan terhenti sejenak. "Berati papa kenal dong sama Sadewa. Tapi kenapa papa gak pernah cerita ya?"

.....

Hari sudah malam. Dengan posisi telungkup diatas lantai, Sadewa dengan lihai mencoret-coret sebuah kanvas putih dengan pensil kesayangannya.

Bukan sekedar coret-coretan biasa. Dengan keterampilannya, Sadewa melukiskan sebuah wajah cantik yang beberapa minggu ini mengisi hari-harinya. Jihan Almira, perempuan berparas menawan, cahaya satu-satunya milik Sadewa yang masih bersinar.

Senyumnya mengembang dan sulit untuk memudar. Jihan benar-benar telah mencuri hati Sadewa. Selang beberapa lama, lukisan itu akhirnya selesai juga. Sadewa mengangkat kanvas itu dan membawanya ke area yang lebih terang, didekat lampu minyak yang berada disudut ruangan.


Matanya berseri, "Jihan, kamu cantik sekali." Puji Sadewa sembari memandang lukisan itu dengan lekat. Disebelahnya tampak sebuah meja kecil yang diatasnya menumpuk berbagai alat lukis dan kanvas yang berjejer tanpa cela. Meja itu penuh dengan berbagai lukisan random yang tentunya Sadewa yang membuatnya.

Sejak kecil, Sadewa sangat gemar melukis. Sadewa selalu mencurahkan segala isi pikirannya dan isi hatinya melalui lukisan yang ia buat. Melukis sudah menjadi bagian dari hidupnya, tepatnya sejak kecelakaan yang merenggut kedua inderanya.

Saat itu, lukisan yang pertama kali ia buat adalah lukisan wajah sang Ibu. Tak menampik fakta jika Sadewa masih sangat merindukan wanita itu. Ingin rasanya ia egois, meminta Tuhan untuk mengembalikan sang Ibu kesisinya.

Pintu jendelanya terbuka. Namun Sadewa belum menyadarinya. Lelaki itu masih betah memandang lukisan Jihan tanpa menyadari kehadiran Rony yang berdiri dibelakangnya, dengan setelan baju koko dan sarung yang menjuntai kebawah menutupi kaki. Rony baru saja pulang dari masjid untuk menunaikan sholat isya.

Karena ayahnya tak berada dirumah, Rony berinisiatif untuk berkunjung dirumah tetangganya— Sadewa. Ia mengetuk pintu namun tak kunjung dibuka. Hingga pada akhirnya, Rony berpikir untuk masuk melalui jendela kamar Sadewa, dan untungnya jendela itu belum terkunci.

Penasaran dengan apa yang dipandang Sadewa, Rony dengan usil mengambil kertas tersebut dari tangan Sadewa. Melihat tangan yang secepat kilat mengambil lukisan Jihan, Sadewa terkejut. Ia memandangi sang pelaku yang sudah berlari menjauhnya.

Sadewa berlari hendak merebut kembali lukisan itu dari tangan Rony. Sedangkan Rony, hanya menyengir tanpa dosa. Sadewa merasa kesal kala Rony bisa mengelak saat ia mendekat.

"Kembalikan lukisan itu, Rony!"

Rony mengangkat tinggi-tinggi lukisan itu agar Sadewa tak bisa menggapainya. Namun Rony salah perhitungan. Ia pikir tinggi badan Sadewa lebih pendek darinya, tapi malah justru sebaliknya, Tubuh Sadewa bagai tiang listrik jika bersanding dengan Rony yang hanya seleher lelaki jakung itu. Alhasil dengan mudah Sadewa mengambil kembali lukisan itu, tentunya dengan ekspresi yang datar.

Rony terkekeh pelan sembari tangan kanannya menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. "Maaf." Ujarnya malu sendiri.

Tak ada balasan apapun dari Sadewa, lelaki itu justru kembali memandangi lukisan Jihan. Hanya sekejap lalu ia mnyelipkan lukisan itu di antara buku-buku.

Telunjuk Rony tergerak menyentuh bahu Sadewa. Sadewa menoleh dan mendapati kertas putih dihadapannya. Di kertas itu ada tulisan kecil, Sadewa memicing mencoba membaca tulisan Rony yang seperti cakar ayam.

"Lo bisa bantuin gue ngerjain PR Agama?"

Teman barunya itu duduk di tempat tidur, menatap wajah Sadewa seolah menunggu jawaban lelaki itu. Sadewa mengambil kertas dan menuliskan sesuatu disana. Sadewa memberikan kertas itu ke Rony.

"Aku gak bisa bantu kamu. Aku non muslim."

Seketika Rony dirundung rasa bersalah. Ia cengengesan lalu menulis sesuatu untuk membalas ucapan Sadewa.

"Maaf, gue lupa hehe ..."

Sadewa hanya melempar senyuman, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Rony hanya diam memerhatikan Sadewa yang berjalan ke meja dan mengambil sebungkus jajanan keripik yang tadi sempat ia beli saat melewati warung Bu Ami. Sadewa memberikan keripik itu kepada Rony.

Sebenarnya Rony merasa tak enak jika harus menerima jajanan dari Sadewa. Namun karena Sadewa terus memaksa, akhirnya Rony mau tak mau harus menerima jajanan tersebut.

"Gue mau nanya, Dew. Tapi takut Lo marah." Tulis Rony di robekan kertas yang sudah penuh dengan kalimat percakapan mereka sebelumnya. Sadewa membalas, "Tanya saja, Aku penasaran."

"Cewek yang tadi sore bersama lo itu namanya siapa ya?"

Sadewa terdiam sejenak. Jujur, Sadewa merasa kurang enak dengan pertanyaan Rony barusan. Perasaannya mendadak gelisah. Sadewa takut Jihannya diambil.

"Namanya Jihan. Memangnya kenapa?"

Rony tersenyum lebar, matanya berbinar-binar saat bayangan seseorang hadir dipikirannya. Bayangan seorang Jihan Almira.

"Terdengar mustahil, namun gue sudah menyukainya sejak pandangan pertama." Tulisan yang ia baca, sungguh membuat perasaannya campur aduk. Sadewa meluruskan pandangan kepada sosok Rony yang masih menulis sebuah kalimat dikertas baru.

"Gue tertarik sama Jihan. Dia cantik seperti Mama gue. Sadewa, Lo mau gak bantuin gue supaya bisa dekat sama Jihan?"

>°•°<

Terimakasih

SEBELUMNYA, TOLONG FOLLOW TERLEBIH DAHULU AKUN AUTHOR!

JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN KOMEN CERITA INI.

SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA

...

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang