21. Digoda Tante Biduan

142 40 99
                                    

Sejak Jihan mendengar percakapan antara Faisal dan Ahmad, ia segera membawa Sadewa pergi ketempat yang jauh. Sadewa tak hentinya bertanya pada Jihan alasan perempuan itu ingin membawanya pergi. Tidak ada jawaban, Jihan justru menangis membuat Sadewa kian bingung.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Jihan?" Sadewa menatap lembut, lelaki itu sama sekali tidak marah kala Jihan mengajaknya pergi menjauh dari mereka, yang sudah dianggap keluarga bagi Sadewa. Jihan sesenggukan, ia tak sanggup berucap, seolah alasan besar itu akan menyakiti siapapun.

"Apa kamu lagi marahan sama Rony?"

"Jangan begini Jihan. Kasih tahu aku apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu menangis? Siapa yang nyakitin kamu?"

Semua pertanyaan Sadewa diabaikan, Jihan lebih memilih berkutat dengan ketakutannya akan kehilangan. Perempuan itu tak sanggup, ia tak sanggup lagi berada disini. Ia ingin bangun, Jihan lelah, Ia tak mau melihat apa yang terjadi kedepannya. Tapi, Jihan juga tidak ingin kehilangan Rembulannya.

Sosok Ayudia Gintari, cinta abadi Sadewa langit Baskara, dan bukan dirinya. Fakta bahwa ia hanya singgah seolah mengulang tanpa merubah apapun disini, sungguh membuat Jihan merasa tercabik-cabik. Kedua orangtuanya, mereka berdua sangat mengenal sang pemilik diary itu. Kebetulan macam apa ini? Apa rencanamu, Tuhan?

"Kalau kamu mau ninggalin aku ... pergi saja." Isyarat itu sontak membuat Sadewa terpaku. "Aku gak akan ninggalin kamu, Jihan."

Memang sulit bagi Sadewa untuk memahami Jihan kali ini. Meskipun banyak tanda tanya dibenaknya, ia tahan untuk tidak bertanya lagi. Karena sepertinya Jihan sensitif, maka dari itu Sadewa berusaha mungkin untuk tidak membuat gadis itu semakin sedih.

"Kamu mencintaiku, Dewa?" Tanya Jihan mengubah topik.

Sadewa mengangguk, ia tersenyum kecil dengan mata yang masih lekat menatap Jihan. "Ya, kamu wanita kedua yang aku cintai setelah ibu."

Bullshit! bukan Jihan, tapi Ayudia Gintari.

"Kalau kamu mencintai aku ... turuti kata-kata aku."

"Jangan pernah kembali kesana. Jangan berdekatan dengan Ayahmu, Pak Ahmad atau bahkan Rony sekalipun. Bila perlu, jangan sampai bertemu mereka lagi. Mereka jahat Dewa!"

"Mereka akan nyakitin kamu."

Sadewa mengangguk lalu memeluk Jihan dengan lembut. Mereka berada di tempat yang jauh. Jihan juga sedang berusaha mencari uang untuk membelikan tiket pesawat tanpa sepengetahuan Sadewa. Sadewa harus pergi jauh agar orang-orang jahat itu tidak dapat menemukannya.

"Tapi Jihan, apa gak masalah kalau kita tinggal satu rumah?" Tanya Sadewa sembari mengerjap-ngerjap polos.

Jihan sengaja menyewa kontrakan ini sebagai tempat sementara Sadewa. Ia juga memutuskan untuk menetap disini guna memantau Sadewa. Kebetulan Jihan hanya sanggup menyewa satu kontrakan, hingga mau tak mau mereka harus satu atap.

Sebenarnya Jihan tak mempermasalahkan hal itu, malahan hal seperti ini sudah biasa ia temui dizamannya. Tapi tidak dengan Sadewa yang justru merasa parno.

"Kata Ibu, kalau laki-laki sama perempuan satu rumah. Bisa hamil."

Pernyataan polos Sadewa sontak membuat Jihan tertawa. Ada rasa gemes dan kesal yang menyerang Jihan secara bersamaan. Benar kata orang, polos sama bodoh itu beda tipis.

Lelaki itu tak mengerti, kendati Jihan masih tertawa membuatnya kian bingung. "Jangan tertawa, Jihan. Aku serius."

"Iya-iya, Dewa. Tapi beneran, selama ini kamu menganggapnya begitu?"

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang