19. Taman Ria Senayan

143 47 155
                                    

Desember 2023

Tubuh yang dahulu terlihat gemuk, kini mulai kurusan. Ia hanya segelintir orangtua, yang akhir-akhir ini selalu menangis. Putrinya tersayang terbaring terlalu lama di ranjang rumah sakit, koma seolah enggan untuk bangun. Begitu indah kah alam mimpi putrinya itu?

Langkahnya yang tertatih-tatih mulai menginjak anak tangga yang terbuat dari kayu. Rony tersenyum getir kala melihat bangunan sekeliling rumah yang terlihat banyak perubahan. Inikah rumah yang dibeli putrinya-Jihan? kenapa harus rumah Sadewa? Skenario Tuhan memang tak main-main.

Awalnya Rony kesini hanya untuk mengambil beberapa barang. Namun ia sangat terkejut kala mengetahui rumah yang ditempati putrinya adalah rumah tinggal Sadewa dulu.

Perasaannya terhenyak, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tak sanggup lagi melanjutkan langkahnya, ia merasa tak pantas.

"Sadewa, aku kembali setelah tiga puluh lima tahun lamanya."

Meskipun tak sanggup, Rony tetap melanjutkan langkahnya di area rumah ini. Pria paruh baya itu kini sudah berdiri didepan kamar Jihan-kamar Sadewa dulu. Tenggorokannya tercekat kala membuka pintu kamar tersebut. Yang benar saja, kamar ini masih sama tanpa ada perubahan. Netranya tak luput memandangi foto Sadewa yang terpajang di dinding. Sahabatnya itu terlihat sangat tampan.

Netra tuanya membulat tatkala menangkap sosok laki-laki yang duduk di pinggir tempat tidur menghadap jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Netra tuanya membulat tatkala menangkap sosok laki-laki yang duduk di pinggir tempat tidur menghadap jendela. Ia menggosok-gosok matanya tak percaya, kendati sosok itu masih terlihat semakin jelas.

"S-Sadewa?''

Lelaki itu menoleh, menatap nanar Rony yang sepertinya mau pingsan. Rony membekap mulutnya sendiri, air matanya meluruh disertai sesak yang luar biasa. Sangat jelas, betapa Rony merindukan lelaki itu. Kendati wajahnya yang menua dipertemukan dengan Sadewa yang terlihat sama seperti terakhir ia melihatnya.

"Apa kabar?" Sapa Rony masih enggan untuk mendekat. Sosok itu tak menjawab apapun, meskipun begitu tatapan kecewa itu masih tertuju pada Rony.

"Kamu dengar suaraku, Dewa?" Rony tersenyum miris, "Gue sudah tua, hehe." Lanjut Rony memakai bahasa mudanya dulu.

Tak ada segaris senyuman pun yang Rony temui, tak ada lagi pandangan persahabatan yang selalu Sadewa berikan padanya. Bahkan, Rony sesak bukan main. Seolah ia merasakan, betapa menyakitkannya, betapa hancurnya, dan betapa tersiksanya Sadewa pada saat itu.

"Maaf. Maaf kawan."

Jari-jarinya yang gemetar berusaha mungkin bergerak menciptakan sebuah kata. "Jangan ganggu keluarga saya."

Sadewa 1987 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang