10. Silent Eyes

60 7 0
                                    


Pagi itu di halaman sekolah, Dani sedang berlari kecil mengejar Arwin yang terus berjalan dengan napas yang membara. Pria itu masih kesal, dan merasa harga dirinya diinjak-injak saat seorang gadis menghajarnya habis-habisan. Maksudnya, Nesha itu perempuan, dan bagaimana bisa Arwin dikalahkan oleh perempuan berbadan kecil? Itu tidak dalam buku sejarah kehidupan Arwin selama 17 tahun dia hidup.

Raut wajah Arwin yang menyatukan kedua alisnya membuat siapapun yang berjalan dihadapannya menepi secara otomatis. Siapa juga yang tidak takut saat pagi-pagi disuguhi raut wajah reog seperti Arwin. Begitu masuk ke dalam kelasnya, ia mendapati Nesha yang sedang mengores-goreskan penanya pada secarik kertas. Gadis nyentrik itu tidak menoleh sedikitpun lantaran headphone musik yang didengar melalui telinganya.

Melihat kursi menganggur di hadapannya membuat Arwin langsung meraihnya. Tanpa perhitungan lagi, pria itu langsung melemparkan kursi tersebut hingga menabrak jejeran meja di kelasnya. Suara gaduh itu yang akhirnya membuat Nesha menoleh. Gadis itu melihat Arwin menatap marah ke arahnya. Menatapnya sejenak lalu kembali memusatkan pandangannya pada lukisan beruang yang sedang dikerjakannya. Sedangkan Arwin yang merasa diacuhkan pun mendecih kesal.

"Woey! Cewek norak!!" panggil Arwin.

Meski dipanggil, musik yang didengarkan Nesha begitu keras hingga pekikan Arwin hanyalah terdengar seperti suara nyamuk belaka. Pria itu lantas berjalan mendekat untuk berbicara kontak mata dengannya. Namun belum saja ia mendekat, ada Ranza yang entah datang dari mana langsung berdiri di hadapan Arwin.

"Ngapain lo? Minggir!!" pekik Arwin.

"Jangan sentuh dia lagi!" Ranza memperingatkan.

"Urusan gue sama cewek itu, ya! Bukan sama lo!" tangkis Arwin.

"Udahlah, Ran. Lagian cowok itu pasti belum puas sama kekalahkannya. Tch, orang gila." gumam Nesha menyindir.

Mendengar kalimat pedas dari Nesha membuat amarah Arwin memuncak seketika. Segera ia menepis keras tubuh Ranza dari hadapannya hingga pria itu tersungkur dan tubuhnya membentur sudut meja. Arwin tidak merasa bersalah, ia terus berjalan mendekati Nesha yang masih sibuk dengan doodle-nya. Arwin menendang bawah meja Nehsa agar mau mengganti fokusnya. Yang mejanya ditendang pun hanya mendengus kesal, meletakan pensil dengan kasar, juga melepaskan headphone yang bertengger di kepalanya. Gadis itu mendongak menatap tajam Arwin.

"Apa lagi?!" ketus Nesha.

"Berantem lagi! Gue nantangin lo lagi. Gue taruhan 300 ribu." ajak Arwin.

"Gak mau." tolak Nesha mentah-mentah.

"Kenapa? Lo takut?" sindir Arwin.

"Iya. Puas?" celetuk Nesha. "Lagian emang kami kaum cewek selalu dipandang lemah sama kaum cowo,'kan?" imbuh Nesha.

Gadis itu kemudian tertawa pelan. Meski ia sadar dengan ucapannya barusan, ia masih merasa lucu bagaimana terkulainya Arwin ketika dihajar habis-habisan olehnya. Nesha membuktikan bahwa perempuan tidak selalunya lemah, mereka masih memiliki sifat bar-bar.

"400." kukuh Arwin. Ia masih belum menerima akan kekalahannya.

"Lo kira gue jalang dinego kaya gitu?! Wah, lo pasti hidung belang, ya." sarkas Nesha. Mengajaknya berkelahi, perkataan 300, 400 bukannya terdengar ambigu?

"Gue kemarin ngalah karena lo cewek, ya!" sanggah Arwin.

Dani yang baru saja tiba di depan pintu langsung memasuki kelas. Pria itu dengan cepat langsung menarik kerah belakang seragam Arwin hingga mundur ke belakang.

"Bangsat! Gila lo ngelawan cewek, banci lo?!" sungut Dani.

"Dia bukan cewek biasa, Dan." balas Arwin.

[1.] My Brave Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang