Hari-hari yang dilewati Ranza berlalu begitu melelahkan. Jika orang lain mengatakan besok akan lebih baik, mungkin kalimat itu tidak berlaku untuk seorang Naranza—lelaki baik dan pendiam yang selalu bersikap seolah dirinya baik-baik saja. Meski merasa hari kemarin begitu berat, ia selalu berharap jika esok akan lebih baik. Meski kadang semua itu hanya sekedar harapan saja.
Pagi itu Ranza sedang duduk dibangkunya. Ia sedang menatap selembar brosur yang ada di tangannya. Itu merupakan selebaran pendaftaran siswa yang berminat mengikuti lomba cerdas cermat tingkat nasional, ia mendapatkannya dari osis yang sedang membagi-bagikannya di halaman sekolah tadi. Di sana tertera hadiah yang dijanjikan kepada yang menepati juara 1 akan mendapat beasiswa di Universitas Indonesia selama 8 semester.
Ranza tersenyum lantaran sangat tertarik mengikuti lomba tersebut.
"Hai Ranza!! Lagi apa, tuh?" pekik Nesha yang langsung merangkul bahu Ranza.
Ranza sedikit terkejut saat Nesha berteriak tepat di telinganya dan menatap gadis di sebelahnya gugup.
"Wah! Lo kayanya tertarik, ya?" tanya Nesha menatap brosur di tangan Ranza.
"Bukan apa-apa." sanggah Ranza.
Pemuda itu langsung meletakan lembaran itu di laci meja. Bersamaan dengan itu, ia mengambil jaket hitam milik Nesha yang dipinjamnya tempo hari.
"Ini jaketnya. Udah aku cuci, makasih." ujar Ranza.
"Gue boleh minta nomor hp lo, gak?" tanya Nesha.
"Buat apa?"
"Katanya temen?" kata Nesha.
Ucapan gadis itu terkesan mensakras hingga membuat Ranza berseringai seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Belum saja mendapatkan persetujuan, Nesha langsung mendudukan dirinya di bangku yang ada di depan Ranza. Ia mengambil ponselnya seperti tidak sabar meminta nomornya Ranza, dan entah mengapa Ranza dengan senang hati memberikan nomor ponselnya pada Nesha. Ketahuilah jika Ranza tidak banyak menyimpan kontak orang lain, bahkan nomornya Gira saja ia tidak punya.
Setelah Ranza menyebutkan digit nomornya, Nesha langsung menekan panggilan menghubungi Ranza. Hanya memastikan saja jika Ranza memberikannya nomor yang benar.
"Angkat, Ran." titah Nesha.
Tadinya Ranza ingin membiarkannya saja, namun karena Nesha memintanya, ia akhirnya mengangkatnya.
"Tugas Geofisika-nya udah? Lihat boleh?" Nesha membuka obrolan.
"Sudah dikumpulin minggu lalu."
Jawaban itu membuat Nesha melengguh kesal. Ah, benar saja jika tugas Teknik Ilmu Komputer sudah diserahkah minggu lalu, Nesha saja yang malas tidak mau mengerjakannya. Ia kemudian menutup panggilannya, begitupun Ranza yang langsung menjauhkan gaway dari telinganya. Sedetik kemudian, Nesha tiba-tiba mengambil ponsel dari tangan Ranza.
"Buat apa?" tanya Ranza.
"Mau taro kontak gue dipanggilan cepat nomor satu."
"Tapi buat apa?" tanya Ranza masih tidak mengerti.
Nesha belum menjawab pertanyaan itu, dia hanya diam seraya mengutak-atik ponsel Ranza untuk menepatkan nomornya pada panggilan cepat nomor satu.
"Karena gue mau jadi yang nomor satu buat lo." ucap Nesha menyerahkan ponsel pada pemiliknya.
Mendengarnya membuat Ranza menatap kosong gadis di depannya, beberapa kali ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Seumur hidupnya belum ada manusia yang mengatakan hal itu untuknya, apalagi yang diucapkan dari seorang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.] My Brave Girl ✔
Teen FictionResiana Neshara, seorang gadis tomboy biang onar terpaksa harus dipindahkan sekolahnya karena kesalahan dan masalah yang selalu ia perbuat. Saat berada di sekolah barunya, ia bertemu Alfian Naranza, seorang lelaki kutu buku yang pendiam dan cupu. Ne...