"Mah! Aku berangkat, ya." teriak Nesha berlari kecil menuruni tangga.
"Ya! Hati-hati. Uang sakunya ada di meja makan," sahut Laras.
Setelah puluhan anak tangga selesai dipijak, ia lantas menuju meja makan mengambil jatah uang sakunya. Di meja makan juga ada roti cokelat yang sudah Laras siapkan untuk Nesha bawa sebagai bekal, hanya saja suara klakson dari motor baru saja terdengar. Nesha yang hendak mengambil bekal itu, tidak jadi lantaran lebih memilih keluar menemui orang yang sudah tiba di depan rumahnya. Saat Nesha keluar, ada Agha yang sudah duduk manis di atas vario hitamnya.
"Gosok gigi bareng emak itik, selamat pagi Nesha cantik!" sapa Agha.
"Agha! Ini masih pagi loh. Aku aja belum sempet sarapan." ujar Nesha.
"Gak sabar, Nes." balasnya berseringai. "nah, pake buat keselamatan." imbuh Agha menyerahkan helm merah muda.
Nesha menerima pemberian helm itu dan memakainya. Usai terpasang sempurna di kepalanya, barulah Nesha menaiki boncengan belakang.
"Gak mau pegangan?" tanya Agha.
"Gak usah. Cepet jalan!" titah Nesha sedikit ketus.
Agha lagi-lagi dibuat mendengkus kecewa dengan balasannya barusan. Ia kemudian menyalakan mesin motornya sebelum melaju meninggalkan rumah. Selama motor melaju, Agha terus berusaha memancing Nesha untuk mengobrol bersama guna menghindari keheningan. Hanya saja Nesha tetap memilih diam sambil memfokuskan pandangannya ke arah kanan kiri jalan seperti sedang mencari sesuatu.
"Tumben banget sih minta dijemput? Emang ada apa?" tanya Agha.
"Berhenti di sana, Gha." suruh Nesha.
Agha kecewa kecewa karena pertanyaannya tidak diacuhkan untuk kesekian kalinya. Kendati demikian, Agha tetap mematuhi ujaran Nesha barusan. Ia menepikan motornya di tempat yang Nesha tunjuk barusan, halte bus. Usai Agha menurunkan standar motornya, Nesha langsung turun dan memberikan helm pada sang empunya.
"Kok di sini?" tanya Agha bingung.
"Gue lagi nunggu orang." balasnya masih menoleh ke segala arah.
"Siapa?"
"Nanti juga tau."
"Lama, gak?" Agha bertanya lagi.
"Gak tau. Kalo lo keberatan mending berangkat duluan aja. Gue bisa naik bus."
"Jangan gitu, dong. Gue yang jemput lo, masa iya ditinggal, sih? Gue tunggu, deh. Berangkat bareng, telat bareng, pulang bareng, deh." kaul Agha.
"Terserah!" desis Nesha menatap sinis lawan bicaranya.
Sesaat tidak ada lagi percakapan lantaran Nesha masih dengan mencari keberadaan gadis penjual kue—meski hanya berdiri dan menoleh. Berkali-kali bus sekolah melintas, namun keberadaan gadis itu tidak kunjung dijumpai. Padahal biasanya ia sering sekali duduk di halte menjajalkan dagangannya pada orang-orang di halte, dari mulai orang dewasa, anak kecil, seorang pekerja, hingga pelajar.
Mungkinkah datang terlalu pagi, karena biasanya Nesha bertemu dengan gadis itu di menit-menit akhir masuk sekolah? Dilihat dari matahari yang sudah mulai terang, sudah dipastikan jika pagi sudah semakin siang. Gadis yang dicarinya pun tidak kunjung menampakan batang hidungnya.
"Aduh, Nesha! Ini udah siang! Lo masih mau nunggu di sana? Lima menit lagi masuk, loh." sahut Agha.
"T-tapi..." dengung Nesha.
"Udahlah, mending berangkat. Gue belum ngerjain tugas akuntansi, makannya jam pertama juga."
"Yaudah berangkat aja sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.] My Brave Girl ✔
Подростковая литератураResiana Neshara, seorang gadis tomboy biang onar terpaksa harus dipindahkan sekolahnya karena kesalahan dan masalah yang selalu ia perbuat. Saat berada di sekolah barunya, ia bertemu Alfian Naranza, seorang lelaki kutu buku yang pendiam dan cupu. Ne...