38. Tag Me

32 4 0
                                    

Nesha membawa Ranza pergi dari kediaman Sanjaya, entah kemana tujuannya yang penting menghilang saja dari pandangan ayah dan anak tadi. Keduanya terus melangkahkan kaki di tepian jalan tanpa tau harus kemana. Sekilas, keduanya memang terlihat seperti gelandangan muda—Nesha yang tidak mau pulang dan Ranza yang baru saja diusir oleh ayah angkatnya.

"Maaf, ya, gak cerita kalo aku sama Gira emang sodaraan." sesal Ranza.

"Gak papa. Aku bakal ngertiin,'kok."

"Tadi ke rumah ngapain?"

"Ya...itu mungkin jebakan Gira aja." kilah Nesha.

Keduanya terdiam lagi melanjutkan perjalanan, ada rasa lelah juga lantaran dari tadi terus berkelana. Hingga akhirnya pandangan mereka menatap bangku taman yang singgah di tepi jalan, membuat mereka bernapas lega akhirnya bisa beristirahat sejenak. Mereka lantas mendudukan diri di sana, sementara itu Ranza berpamitan membeli air minum di warung terdekat guna menghilangkam dahaga.

"Makasih." ucap Nesha saat Ranza kembali membawakan sebotol air isotonik.

Ranza lantas mendudukan dirinya di samping Nesha, sembari membuka botol dan lantas meneguknya. Begitu pun Nesha yang lantas meneguk airnya.

"Kamu tau gak, Ran, aku kira manusia paling galak di bumi ini itu papaku. Ternyata masih ada juga manusia lebih galak dari beliau." ucap Nesha menatap langit malam.

"Papanya Gira gak galak. Gira juga baik." Ranza menangkis lagi.

"Terus aja ngomong kaya gitu." kata Nesha sinis.

Ranza menanggapinya hanya dengan berseringai. Ia tau jika Sanjaya tidak penah menyayanginya atau memperlakukan Ranza dengan baik seperti manusia pada umumnya. Namun karena Ranza masih berstatus seorang anak, insting seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya tentu sangatlah besar. Ia juga ingin merasakan bagaimana menjadi anak berbakti pada orang tuanya.

"Dari dulu mama selalu manjain aku, beda sama papa yang mendidik keras anaknya, tapi mereka tetap sayang. Kak Desire itu pintar dan dewasa, beda sama aku yang bodoh dan kekanak-kanakan...jadi, aku merasa tertekan." Nesha mencurahkan kehidupan keluarganya.

"Seenggaknya kamu masih punya orang tua." tukas Ranza.

"Oh, ya. Kita mau kemana?" tanya Nesha mengalihkan topik.

"Kamu gak jadi nginep di rumah kawanmu?" tanya Ranza.

"Itu mah gampang. Aku punya banyak temen,"

"Oh ya? Gimana kalo malam ini nginep sama aku aja?" tawar Ranza.

Nesha dibuat berkerut alisnya heran. Alih-alih menjelaskan lebih rinci lagi, Ranza mengambil tas besar miliknya dan beranjak dari kursi sebelum melenggang, begitu pun Nesha yang lantas ikut berdiri dan berlari kecil menyusul Ranza dan berjalan di sampingnya.

"Nginep sama kamu maksudnya apa? Tidur bareng? Di rumah kamu? Dimana?" cecar Nesha.

"Pikiranmu kok kotor banget sih? Aku mau ke panti, di sana ada tempat tidur buat istirahat. Nanti kukenalin sama ibu panti di sana, dia udah kaya ibuku juga."

Penjelasan tadi berhasil membuat Nesha menyengir kaku, hanya antisipasi saja. Sisi baiknya bertanya sedemikian, ia tau jika Ranza memang anak baik. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju panti. Dengan menaiki bus, perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit.

Usai menempuh jarak beberapa kilometer, kedua remaja itu tiba di depan gerbang bertuliskan Panti Asuhan Mudita. Ranza mengajak Nesha untuk segera masuk—dari pada bengong di luar.

Jam saat itu masih menunjukan pukul 8 malam, oleh karenanya itu di halaman panti masih terdapat anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran, sepak bola, petak umpet, hingga permainan tradisional lainnya. Hanya melihatnya saja nampak menyenangkan. Lantaran anak-anak yang main di luar tadi bukan tujuannya,  Nesha tetap mengikuti dari belakang kemana Ranza pergi.

[1.] My Brave Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang