Sesuai perkataan Ranza jika keinginikutannya hanya untuk melihat Resti, dibuktikan dengan kepulangannya setelah bertukar kabar dengan Resti. Senang rasanya jika tidak ada kesalahpahaman lagi yang terjadi dari pihak manapun, ia harap Nesha juga merasakan hal yang sama.Hari sebenarnya sudah siang, hanya saja di daerah dataran tinggi langit cerah tertutup awan tebal hingga memberi suasana mendung. Di jalan itu Ranza sedang berjalan seorang diri menuruni tanjakan, tujuannya hanya untuk menuju halte untuk pulang. Saat di tengah perjalanan, indra pendengarannya menangkap suara pekikan terdengar tidak asing memanggil namanya. Sang empunya nama menoleh ke belakang mendapati Nesha yang sedang berlari cepat ke arahnya.
Waktu terasa berjalan lamban saat Nesha berlari ke arahnya, anakan rambut yang terurai sekaligus manik yang sedikit berkaca. Hidungya memerah, dan raut wajahnya terlihat khawatir. Usai berlari mendekat, gadis dengan nama asli Neshara itu langsung melingkarkan tangannya di pinggang Ranza dari depan, ia terisak menangis di pelukan Ranza. Kendati terkejut lantaran pertama kalinya ia melihat Nesha menangis di hadapannya, apalagi sambil memeluknya.
"Nes? Kamu kenapa?" tanya Ranza bingung.
"A-aku minta maaf..." racau Nesha.
"Kenapa minta maaf? Kamu gak pernah buat salah ke aku,'kok." kilah Ranza.
Nesha menggeleng kembali menyalahkan dirinya sendiri. "Aku yang salah. Aku jauhi kamu, aku gak percaya ucapan kamu, aku minta maaf pernah benci kamu, Ran..."
Ranza bergeming, ia lantas mendorong bahu Nesha guna memberikannya jarak. Dilihatnya wajah gadis di depannya sudah banjir air mata, membuat tangan Ranza terangkat dan menghapus jejak air mata di sana.
"Jangan nangis, aku ngerti perasaanmu. Jangan terlalu menyesali, lagipula aku gak ngerasa kamu nyakitin aku." kata Ranza mencoba menenangkannya.
"Tapi kata-kataku kejam...kamu gak salah, kamu malah jadi korban, aku sedih karena gak tau kebenaran."
Ranza tersenyum sendu memandangi racauan gadis di hadapannya. Jika Ranza terus mengatakan Nesha tidak salah, itu malah akan membuat Nesha semakin bersalah dan berujung perdebatan yang tidak ada akhirnya. Menoleh ke segala arah, ia mendapati pohon tumbang di tepi jalan, membuatnya meraih tangan Nesha dan membawanya ikut duduk di sana.
Saat menduduki pohon tumbang itu, Nesha mati-matian menahan diri untuk tidak lagi menangis. Sejujurnya ia pun malu terlihat lemah di depan Ranza, tapi sepertinya Ranza tidak mempermasalahkan hal demikian. Beberapa saat setelahnya, tangisan Nesha mereda, antara keduanya terdiam tidak membuka suara.
"Kalo aku minta maaf, kita bakal kembali kaya dulu, gak?" tanya Nesha melanjutkan pembicaraan.
"Ayo." balas Ranza. Nesha menoleh lantas menyunggingkan senyuman manis untuknya. "juga...aku berterima kasih." sosor Ranza.
"Buat apa?"
"Aku tau kalo dari awal kamu emang gak percaya, aku lihat tatapan ketidakpercayaan kamu waktu itu. Kamu malah susah-susah cari Resti buat buktiin kebenaran, aku terharu, Nes." kata Ranza.
"Apaan sih. Lagian niat datang ke sini itu liburan, kemah." kilah Nesha.
"Kamu masih payah dalam berbohong."
"Wah! Udah mulai frontal sekarang, ya?" sindir Nesha.
Ranza tersenyum tipis saat Nesha kembali dengan sifatnya seperti sedia kala. Begitu pun Nesha yang tertawa pelan melihat Ramza sepertinya masih malu-malu. Sesaat setelah keheningan terjadi, Nesha merasakan sensasi kasar menyentuh punggung tangannya, saat menoleh ternyata Ranza sedang meraih tangannya. Kedua insan itu saling mempertemukan netranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.] My Brave Girl ✔
Teen FictionResiana Neshara, seorang gadis tomboy biang onar terpaksa harus dipindahkan sekolahnya karena kesalahan dan masalah yang selalu ia perbuat. Saat berada di sekolah barunya, ia bertemu Alfian Naranza, seorang lelaki kutu buku yang pendiam dan cupu. Ne...