Malam yang sama tepatnya setelah Ranza mengantarkan Nesha pulang. Ia merasakan letih dibahunya setelah seharian sekolah dan bekerja. Dirinya lantas mendudukan diri di teras rumah untuk melepaskan sepatunya. Saat ia hendak mengambil kembali sepatu untuk diletakan di rak, sebuah kaki tiba-tiba muncul di hadapannya dan langsung menendang sepatu itu hingga terpental jauh di halaman rumah.Dia Gira, sedang menatap nyalang Ranza. Sama halnya dengan Ranza, gadis itu juga masih memakai seragam sekolah setelah pulang dari kursus belajar. Sedangkan Ranza yang ditatap seperti itu hanya menelan salivanya gugup. Sebisa mungkin ia memutuskan kontak mata dengan adik angkatnya.
"Maksud lo apa tadi?" tanya Gira masih basa-basi, nada bicaranya pun masih rendah. "Maksud lo apa daftarin diri ikut seleksi lomba cerdas cermat itu?!" final Gira semakin meninggikan nada bicaranya.
"Aku pengin kuliah." balas Ranza jujur.
"Di Universitas Indonesia?" koreksi Ghea.
Ranza terdiam sesaat sebelum akhirnya ia memberikan dua anggukan pelan. Benar sekali, Ranza ingin melanjutkan studinya di salah satu kampus terbaik di Indonesia. Anggukan itu juga yang membuat Gira tertawa hambar. Ia benar-benar tidak menyangka jika pria di hadapannya selalu berhasil membuatnya merasa menjadi orang bodoh.
"Cabut pendaftaran lo sekarang!" titah Gira.
Dan lagi, Ranza hanya diam menanggapinya. Pria itu lantas berdiri dari duduknya dan menghadap langsung pada Gira.
"Ini kesempatan aku." kata Ranza.
"Lo bisa cari beasiswa ke kampus lain! Lo pasti milih kedokteran, bukan?" tebak Gira.
Ranza kembali menunduk dengan jawaban yang sangat tepat dari Gira. Mengapa bidikan gadis itu sangat tepat seolah bisa membaca pikirannya. Hubungan Ranza dengan Gira terbilang tidaklah baik setelah Halen meninggal, seperti mereka saat di kelas yang bersikap seolah bukan siapa-siapa. Ranza tidak masalah, namun Gira yang enggan mengakui anak adopsi itu.
"Dua tahun itu cukup buat gue sekelas sama lo!! Gue gak mau satu divisi lagi!" keluh Gira.
"Tap—"
"Apa?! Lo minta gue ngalah lagi? Semenjak mama hidup, gue yang selalu ngalah! Apa 17 tahun itu gak cukup buat bikin gue ngalah?" tangkis Gira saat Ranza mencoba menyela.
"Bukan Gira... Kita bisa—"
"Lo tuli?! Gue gak mau satu kampus sama lo!!" Gira menangkis lagi.
Nyali Ranza kembali ciut saat Gira terus saja menangkis ucapan tadi, dimana tebakannya selalu benar. Maksudnya Ranza tidak masalah jika Gira ingin masuk fakulitas yang sama, hanya saja Gira yang sangat tidak ingin satu ruangan lagi dengan Ranza.
Bagi Gira, ia sudah muak melihat wajah Ranza di setiap harinya. Di sekolah atau di rumah selalu membuat emosi gadis itu tidak menentu. Adanya Ranza di rumah itu membuat Gira sangat sulit membawa temannya ke rumah, hal itu dilakukan demi menjaga privasi hubungan persodaraannya dengan Ranza yang notabene adalah teman kelasnya. Mereka yang ada di kelas sama adalah satu kebetulan yang tidak terduga.
"Atau Nesha akan alami hal yang sama kaya Resti." Gira mengancam lagi.
"Jangan bawa-bawa dia! Nesha gak ada hubungannya." bela Ranza.
"Gue gak bakal biarin lo bahagia lagi. Senyuman yang selama ini lo tunjukin selalu nyakitin gue!" ketus Gira.
Suara mobil baru saja berhenti di depan rumah menginterupsi pandangan kedua remaja yang sedang beradu argumen. Beliau adalah Sanjaya yang baru saja pulang dari tempat kerjanya, melihat anak-anaknya yang belum juga masuk membuat pria paruh baya itu langsung mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.] My Brave Girl ✔
Подростковая литератураResiana Neshara, seorang gadis tomboy biang onar terpaksa harus dipindahkan sekolahnya karena kesalahan dan masalah yang selalu ia perbuat. Saat berada di sekolah barunya, ia bertemu Alfian Naranza, seorang lelaki kutu buku yang pendiam dan cupu. Ne...