"Sshh...s-sakit, Ranza."
"Tahan, ya. Ayo keluar."
"Kaki aku gak bisa digerakin...kram." cicitnya.
"Apa mau di sini terus? Lebih baik keluar."
"T-tapi seragamku gimana?"
Sendari tadi Ranza terus meyakinkan gadis itu untuk mempercayainya. Hanya saja ia terus saja menangis ketakutan meriuk di atas lantai, dia Resti. Ranza yang sudah tidak tega melihat keadaan Resti yang urakan pun melepas jaket hijaunya dan menyelampirkannya pada kedua bahu Resti.
Ranza yang baru saja tiba di sekolahnya mendengar suara isak tangis dari seorang gadis dari gudang sekolah. Meski awalnya takut (jika suara itu adalah hantu) tapi Ranza memberanikan dirinya untuk memasuki gudang sekolah. Saat memasukinya, ia terkejut mendapati ternyata teman kelasnya sedang menangis memeluk lututnya, ditambah keadaannya kacau, rambut berantakan, seragam robek, juga lengan dan kakinya terlihat berdarah.
"Ranza...a-aku takut..." Resti masih menangis.
"Kenapa?"
"Aku sendirian...gelap, dingin...aku takut." racau Resti.
Ranza dibuat bingung dengan hal yang menimpa Resti. Pemuda berkacamata itu lantas memegang kedua bahu Resti dan menatapnya lekat-lekat.
"Udah, ya, jangan nangis. Aku disini,'kok. Yaudah, yuk, keluar. Kuminta surat di BK buat izinin kamu pulang, gimana?" usul Ranza.
Walaupun mulanya bergeming sejenak, Resti akhirnya mengangguki sarannya. Lantaran kaki Resti katanya terasa sakit, Ranza meraih tangannya dan meletakannya di bahunya. Dirangkulnya gadis itu sambil berjalan—meski langkahnya tertatih menuju pintu hendak keluar dari gudang tersebut. Sesuai ucapan Ranza barusan jika lelaki itu meminta surat izin agar Resti diperbolehkan untuk pulang.
Hari-hari berjalan seperti biasanya. Hanya saja bangku sebelah Ranza yang biasa diduduki gadis peringkat tiga di kelasnya kosong. Resti tidak lagi ada di kelas sejak Ranza menemukannya di gudang hari itu, membuat perasaan Ranza khawatir...terutama Arwin yang memiliki perasaan lebih pada Resti—meski mencintai secara diam-diam.
Bel pulang di jam terakhir baru saja berbunyi, semua pelajar sekolah yang mendiami SMA itu berhamburan keluar hendak pulang, kecuali mereka yang masih memiliki urusan di sekolahnya, seperti jam tambahan atau extrakulikuler.
Begitu juga Ranza, pria itu sedang berjalan menuju gerbang sekolah hendak pulang. Namun belum saja tungkainya melewati gerbang, dari belakang seragamnya ditarik seseorang dan membawanya pergi. Begitu berada di belakang sekolah, tubuh Ranza dihempaskan begitu saja hingga dirinya jatuh mencium tanah.
Melihat Ranza yang mencoba berdiri membuatnya langsung menendang tubuh ringkihnya. Ia kemudian kembali menarik kerah seragamnya dan mempertemukan netranya berang. Satu tinju berhasil ia daratkan pada pipi Ranza. Lelaki itu adalah Arwin.
"Lo apain Resti!!" sentak Arwin.
"M-mak—"
Belum saja Ranza menanyai lebih jelas lagi, Arwin tanpa tedeng aling-aling kembali memukuli Ranza hingga babak belur. Lagi-lagi Ranza tidak bisa membalas saat dipukuli seperti itu, hanya bisa diam merasakan setiap pukulan yang Arwin beri. Usai puas memukuli Ranza—hingga hidung dan mulutnya mengeluarkan darah, sampai tangan dan kakinya memar dan terluka—Arwin berdiri dengan napas kembang kempis menatap nyalang Ranza yang sudah tidak berdaya.
"Gue gak bakal tinggal diem kalo Resti sampai kenapa-napa, gue bakal bikin lo nyesel dilahirkan di dunia." final Arwin, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Ranza tanpa bersalah.
Sedangkan Ranza merasakan seluruh tubuhnya sakit, bahkan tulangnya saja terasa remuk saat Arwin memukulinya. Ia mencoba berdiri, namun gagal karena rasa sakit yang terus menyiksa. Saat ia mencoba bangkit dari tersungkurnya, sepasang kaki berada di hadapannya. Ranza mendongak ke atas dimana ia mendapati Gira berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.] My Brave Girl ✔
Fiksi RemajaResiana Neshara, seorang gadis tomboy biang onar terpaksa harus dipindahkan sekolahnya karena kesalahan dan masalah yang selalu ia perbuat. Saat berada di sekolah barunya, ia bertemu Alfian Naranza, seorang lelaki kutu buku yang pendiam dan cupu. Ne...