Prologue

201 15 0
                                    

Aku kenal tempat ini.

Lonceng sekolah itu, keramaian ini, orang yang lalu lalang. Semuanya.

Termasuk sosok di hadapanku yang menatap dengan tatapan kebencian.

Sosok itu berdiri di depanku, menjulang tinggi seakan kepalanya mampu menyentuh langit. Atau aku saja yang terlalu mungil di hadapannya?

Pakaiannya bercahaya, dengan ornamen-ornamen menghiasi setiap inci untaian kain itu. Tapi aku hanya bisa menatapnya nanar, gemetaran dengan air mata yang mengalir.

Lalu orang yang lalu lalang itu berhenti, mengalihkan pandangan mereka ke arahku.

Banyak orang, aku rasa jumlahnya ratusan, saling berbisik dan menatapku dengan tajam.

Ada yang kasihan, ada yang mengejek, ada yang menertawakan. Kasak-kusuk itu mulai semakin keras terdengar.

Semuanya tertuju padaku, aku merasa layaknya target panahan dengan ratusan panah yang tertancap.
Atau memang di mata mereka aku tidak lebih berharga ketimbang papan kayu melingkar tersebut?

Lalu, tiba-tiba, sosok yang menjulang tinggi di hadapanku itu mulai mengangkat tangannya. Peringainya seolah-olah menegaskan dirinya sebagai sosok suci yang pasti benar, tahu segalanya.

Sorotannya kepadaku terasa seperti tatapan seorang petinggi yang sedang memandang kotoran hewan.

Bagaikan petir, sosok itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah mataku. Lalu kemudian bibirnya terbuka.

"Pendosa. Pendosa. Pendosa. Kau pendosa. Pendosa. Pendosa...."

Aku menutup telingaku. Hardikan itu dilakukan dengan sepenuh hati, menusuk telingaku bagai seseorang yang tentah memaku kayu dengan palu.

Setiap kata demi kata diucapkan dengan tegas layaknya hakim menjatuhkan vonis mati, menyisakan pilu.

Namun, sosok itu mengulang-ulang perkataanya, terus terdengar bagaikan kaset rusak. Dengan ratusan orang memperhatikannya, mendengar setiap kata penghakiman maha benar yang dia ucapkan.

"Pendosa. Pendosa. Pendosa. Berani-beraninya bocah sepertimu mencoreng yang suci?! Pasti orang tuamu yang tidak punya iman itu yang memaksakan anaknya melakukan hal ini. Pendosa. Pendosa. Kau pendosa. Pendosa. Pendosa...."

Bagaimanakah tangan mungilku bisa mencoreng yang suci? Bagaimana bisa anak belasan tahun melakukan itu?

Kenapa pula orangtuaku yang juga sama dengan sosok itu, bahkan mengenakan atribut serupa ketika ritual suci, juga harus terseret dalam ujarannya? Kenapa?

Kenapa sosok ini mengatakan hal seperti itu di tempat umum?

Persetan, aku pendosa pun bukan sebuah masalah berarti. Tapi bagaimana bisa sosok ini merusak harga diri orang tuaku seolah-olah sedang mempertunjukkan sebuah pertunjukkan teater di depan umum? Atau memang ini kah hiburannya, merusak harga diri orang di depan publik?

Kebencian mendesir dalam darahku.

Tidak ada rutuk yang menyelinap keluar dari bibir, tak juga balasan apapun. Hanya diam sambil menatap sosok itu.

Aku menggertakan gigi, mengepalkan tanganku. Kemarahanku sudah berada di puncaknya, meradang dengan menyisakan luka yang terus melebar. Tapi suaraku tidak bisa keluar, tubuh ini menolak untuk diajak bergerak.

Aku hanya mampu menatap matanya, lurus dan tajam dengan pupil mengecil. Berharap dengan tatapan ini aku bisa menusuk bola mata itu, memotong lidah itu, menarik keluar hatinya dan membuangnya ke tempat sampah. Tidak juga sosok itu menggunakan hatinya, jadi untuk apa benda itu terus ia simpan?

Rujak Duren dan Lebah MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang