Pertanggungjawaban

51 11 0
                                    

Iyes mengendarai motor matic-nya seperti kerasukan. Zig-zag melalui bus dan truk besar di jalanan menuju Kota Ungaran.

Alamat yang diberikan dari Bu Jeng beberapa belas menit lalu mengarahkan Iyes untuk melaju ke Ungaran Barat. Semakin mendekati tempat tujuannya, semakin Iyes dekat dengan sebuah gunung besar bernama Gunung Ungaran.

Kemudian, setelah melalui hampir dua puluh menit waktu perjalanan dari kampusnya, perempuan itu tiba di suatu tempat yang halamannya begitu luas dengan kebun pribadi yang beragam jenis tanamannya dan dua rumah. Satu sepertinya digunakan untuk kediaman si empunya lahan, karena cukup besar dengan dinding kayu Ulin yang kokoh menancap di tanah. Sedikit menyerupai rumah punggung. Satu nya lagi juga terbuat dari kayu, tetapi tidak begitu besar.

Namun, persetan dengan rumah! Iyes butuh untuk segera tahu kondisi si empunya tanah ini. Saat ini, sekarang juga.

Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, Iyes menuju pintu depan. Begitu sampai disana, Iyes lalu mengetuk-ngetuk, lebih tepatnya menggedor, pintu dengan sekuat tenaga sambil berteriak.

"Oi, Rujak Duren Bedebah! Keluar kau!"

Teriakan itu dia ulangi untuk beberapa saat sampai akhirnya dia lelah dan memutuskan untuk menunggu sambil menghentakkan kakinya di lantai kayu. Kemudian, tak lama, pintu itu terbuka dan sesosok pria muncul dari balik pintu.

Tangannya di gips dan wajahnya pucat. Walaupun Iyes cukup terkejut begitu melihat brewok tebal yang membingkai rahangnya, tapi bagaimanapun penampakannya, Iyes sangat mengenali pria itu. Dan persetan dengan apapun, Iyes merasa sangat lega karena pria satu ini masih hidup, berdiri, dan bernafas. Si Rujak Duren kesayangannya.

"Iyes... kenapa...."

Belum sempat Rio menyelesaikan perkataanya, Iyes segera menerjang pria itu. Memeluknya dengan selembut mungkin, memaksa Rio sedikit menunduk agar perempuan itu tidak perlu berjinjit.

"Persetan, kenapa bisa sampai kau kecelakaan?"

Rio terus diam, karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Otaknya masih konslet karena pelukkan mendadak dari Iyes. Belum lagi karena perempuan itu datang menemuinya tanpa peringatan. Tentu saja sirkuit otaknya belum siap untuk menerima hal ini.

"Kau harusnya tahu betapa khawatirnya aku, bedebah!"

Iyes mulai gemetar dan memeluk Rio lebih erat. Pria itu semakin konslet ketika ia merasakan getaran dari tubuh Iyes dengan cukup kentara. Terlebih, saat air mulai menyusup dari pori-pori pakaiannya di bagian pundak.

Iyes menangis? Untuknya?

"Aku tidak akan memanfaatkanmu kalau kau mati! Kau bilang kalau masa depan kita sudah jadi satu, jadi bertingkahlah seperti itu! Persetan, jangan berani-beraninya tinggalin aku sendirian, bodoh!"

Kali ini, Rio tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia pun hanya tersenyum kecil sambil berujar, "Maksudmu mungkin memaafkan, bukan memanfaatkan."

Iyes langsung melepas pelukannya dan memasang tampang pucat pasi. Terkejut atas apa yang dia lakukan barusan. Tapi karena otak dan hatinya sudah overload, perempuan itu dengan sewot membalikkan badan dan berteriak, "Bodo amat! Bye!"

Belum sempat Iyes melangkah, Rio menggenggam lengan Iyes dengan tangannya yang masih sehat. Pria itu pun dengan lembut berujar, "Jadi, ini berarti kau sudah membatalkan janji kita, kan?"

Iyes tidak menjawab apapun. Dia tetap membelakangi Rio sambil menundukkan kepala.

"Kau sudah tidak bisa membohongi dirimu lagi, my honey bee. You love me and you know it."

Iyes lalu menghempas tangan Rio dan mulai gemetar lagi. Rio menjadi panik, mengira Iyes kembali menangis. Jadi dia memutari Iyes untuk melihat ekspresi sang perempuan pujaan hati.

Rujak Duren dan Lebah MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang