Empat tahun kemudian
Rio merasakan cahaya matahari mulai mengelus wajahnya pagi itu. Perlahan, ia mulai menutup bukunya dan melihat seisi ruangan sudah terang benderang dengan jendela yang terbuka lebar dan seorang bayi berusia dua setengah tahun tidur pulas di sisinya.
Rutinitas pagi membaca buku seperti biasa membuat Rio seakan tidak peduli apapun yang terjadi disekitarnya. Hanya dia, bukunya dan dunianya sendiri. Selalu seperti itu.
Pria itu butuh beberapa menit untuk memindai ruangan kamar ini, hanya untuk mencari sosok istri yang teramat ia cintai. Tetapi tidak ada. Hanya ada seorang bayi yang tertidur dengan dibentengi guling-guling agar tidak terjatuh dari kasur. Perempuan itu sudah bangun dan sekarang entah berada dimana.
Tanpa menimbulkan banyak gerakan dan suara, pria itu beranjak dari sofa bacanya. Lalu dengan sepelan mungkin keluar dari kamar. Kemudian, ia mendengarkan suara minyak dan senandung dari arah dapur, diikuti aroma manis butter dan bumbu lain yang sepertinya baru ditumis.
Pria itu kembali melangkah sepelan mungkin menuju dapur. Ia berniat untuk mengejutkan sang istri. Tetapi, mungkin karena dirinya belum sadar penuh, Rio menginjak sesuatu tepat di pintu dapur. Kemudian, dalam seketika, seember air tumpah dari atas dan membasahi tubuhnya.
Rio belum sempat bereaksi kaget, tetapi ia sudah dapat mendengar suara tertawa sang istri dengan begitu jelas.
"Mas, kedelai saja tidak jatuh pada satu lubang yang sama untuk kedua kalinya!"
Iyes mengambil handuk yang sudah dia siapkan di dekat kompor, mendekati suaminya dan menyelimuti kepala Rio dengan kain itu. Dia tersenyum begitu lebar dan puas. Sebuah kecupan mendarat di bibir Rio, walau hanya untuk waktu yang sebentar. Setidaknya, itu saja cukup untuk membuat sang suami memaafkan kejutan paginya hari ini.
"Kau harusnya berhenti jahil, my honey bee," ujar Rio sambil mengeringkan rambutnya.
"Salah siapa yang selalu diam-diam memeluk dari belakang ketika aku menyiapkan sarapan?"
Rio terdiam seketika. Memang salahnya juga yang senang mengagetkan istrinya itu. Tetapi bukan berarti ia harus dijebak seperti ini!
Pagi ini adalah kali ketiga untuk satu minggu terakhir. Sebelumnya telur busuk, sebelumnya lagi air terasi. Hari ini, sebenarnya, Rio harus bersyukur karena hanya air biasa. Tetapi sekesal apapun dirinya, Iyes selalu menciumnya sebagai permintaan maaf. Jadi, bagaimana bisa seorang Rio sanggup memarahi istrinya?
"Mas, hari ini kita kondangan, kan. Jadi, cepat siap-siap."
"Hm? Kondangan siapa?"
"Andro! Kau lupa dengan sahabatmu sendiri?"
Rio tertawa renyah dan menjawab, "Bagaimana aku ingat jika sampai kemarin anak itu sama sekali tidak terlihat seperti akan menikah."
Iyes ikut tertawa dan kembali ke kompor untuk melanjutkan masakannya. Dia kemudian kembali berujar, "Siapa juga yang menyangka si Andro akan menikah?"
Iyes kemudian menghela nafas kesal, ketika merasakan pakaian basah Rio melekat di punggungnya. Pria itu memeluknya dari belakang! Dengan keadaan basah kuyup?!
"Kita kondangannya siang atau sore aja, ya, honey bee," Rio mengecup tengkuk leher Iyes, "Bagaimana kalau adik untuk Arung?"
Iyes menghela nafas dan menjawab, "Tidak ada adik-adikan sampe Arung masuk SD!"
"Kalau bisa, aku mau yang perempuan, my honey bee," ujar Rio, tidak peduli sanggahan Iyes barusan.
"Memang kau ini Rujak Duren! Sudah aku bilang, tidak ada bayi baru sampai Arung masuk SD!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Rujak Duren dan Lebah Madu
RomanceKiyesia Tarani yang agnostik tidak menyangka kalau dia dijodohkan dengan Rio yang sangat religius dan spiritualis. Karena trauma masa kecilnya, Rio terlihat tidak lebih baik dari rujak duren. Dia hanya belum menyadari kalau Rio Azriel Rayaan akan me...