Intuisi Demi Afeksi

45 11 1
                                    

'AKU SEMUT DI BERANDA'

Iyes memandangi buku itu sekali lagi. Entah untuk berapa belas menit lamanya, yang pasti memang tidak sebentar.

Baru saja ia menyelesaikan satu buku, tidak lebih dari dua jam untuknya melakukan itu. Tapi jantungnya masih berdebar kencang.

Bahasanya mudah dimengerti, tidak ada satu kalimat pun di dalamnya yang menghakimi. Semuanya logis, indah dan menyejukkan hati. Pantas saja buku tulisan Rio menjadi sangat populer, walaupun pria itu mengangkat tema-tema yang sensitif.

Tapi ada satu kalimat yang membuat Iyes merasa sangat bersalah, menyesal dan mulai merutuki dirinya sendiri.

Pada halaman ke 111, ada beberapa paragraf yang berbunyi:

Aku menyadari, bahwa damai bukanlah ketika tidak ada perang. Tetapi ketika toleransi menjalin intimnya relasi dengan pluralistik. Indonesia, tentu indah bukan hanya karena bentangan alam, tetapi bentangan potensi kedamaian dalam jiwa masyarakatnya.

Tanpa tahu pemikiran Rio yang sangat terbuka, Iyes sudah menghakimi pria itu.

Betapa kejamnya dia ketika kalimat demi kalimat yang menyalahkan si Rujak Duren itu mengalun dari bibirnya. Betapa terlukanya pria itu, Iyes bisa membayangkannya.

Lalu, perempuan itu menangis tersedu ketika menyadari satu hal.

Apa bedanya dia dengan pemimpin aliran kepercayaan yang dulu menghakimi dengan bibirnya? Apa bedanya? Pada akhirnya, dia juga melukai seorang pria yang tidak pernah sekalipun melukainya. Justru, selalu menyayanginya.

Bukankah ini berarti dirinya bahkan lebih jahat ketimbang oknum setengah setan yang dulu melukai hatinya? Bukankah ini berarti dia menjadi seorang hipokrit?

Dia pun menggulingkan diri di kasur, menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak sambil menangis. Iyes memang tidak suka berada di zona tidak nyaman.

Tetapi perempuan itu akan sangat sedih ketika dia melakukan apa yang ia benci. Sekarang, dia baru menyadarinya dirinya hipokrat, satu nafas dengan munafik, satu detak dengan setengah setan.

Tetapi kemudian, smartphone nya berdering. Sebuah pesan masuk, pengirimnya adalah Andro yang bersahabat dengan Rio. Iyes dan Andro memang cukup sering bertukar pesan, entah kenapa pria satu ini selalu dengan random mengiriminya meme dan video kegoblokan. Tentu saja itu menghibur keduanya, jadi mereka terus saling bertukaran konten tidak bermutu.

Hanya saja malam ini, politisi nasionalis itu mengirimkan sebuah rekamanan. Iyes yang penasaran pun memutarnya.

"Yoyok janji buat menjauh dari Iyes. Yoyok bahkan meminta Pak Adi, ayah Iyes, untuk mengakhiri perjodohan. Sekarang Yoyok semakin sadar kalau Yoyok butuh Iyes. Yoyok bahkan tidak bisa berhenti memikirkan Iyes, Ma. So, please, temuin Iyes dan bilang betapa Yoyok...."

"Yoyok kenapa?"

Satu kalimat setelahnya membuat Iyes kembali berteriak sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Itu suara Rio dan Ria! Rio berbicara dengan lembut, suara baritonnya yang seperti alunan musik itu mengelus gendang telinga Iyes. Membuat rasa rindu tiba-tiba meledak dari dasar hatinya yang terdalam.

Satu kalimat setelahnya, kata yang sama, adalah peluru yang mengenai hati Iyes. Tapi bukan luka yang muncul, tidak ada satu pun rasa sakit yang mendera Iyes –tidak sama sekali. Justru, itu adalah sebuah obat mujarab yang membuat segala rasa penyesalan Iyes hilang entah kemana.

Peluru itu berhenti di lubang hatinya, diam di situ dan mengisi luka yang sudah mulai membusuk.

***

Rujak Duren dan Lebah MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang