IRIS 13

3.2K 547 40
                                    

- I R I S -

;

Mendengar kabar sang anak yang nyaris menjadi korban penculikan, Chanyeol bergegas menuju istana Renjun dengan air muka panik dan jantung yang berdebar keras. Padahal dia sudah menempatkan Mark di sisi Renjun, pun ada pengawal yang bersama dengan mereka, bagaimana bisa masih ada orang yang berusaha melakukan sesuatu seperti penyerangan dan penculikan? Niat hati ingin memberikan penghiburan serta mengganti suasana hati untuk Renjun, seperti saran yang Mark berikan, justru hal tak terduga semacam ini yang terjadi, bagaimana Chanyeol tidak panik?

Sesampainya di depan ruang kamar Renjun, tanpa peduli dengan apa yang akan terjadi atau ada siapa saja di dalam ruangan tersebut, Chanyeol menyeruak masuk ke dalam dengan deru napas yang memburu akibat berjalan cepat nyaris berlari agar lekas sampai kemari.

Mari yang sejak tadi mendampingi sang adik sontak menoleh selepas mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Melihat kehadiran sang Ayah, Mark lekas berdiri dengan raut wajah penuh rasa sesal akibat lalai dalam menjaga Renjun hingga nyaris membuatnya dalam bahaya.

“Ayahanda, maafkan saya. Lagi-lagi saya membuat Renjun seperti ini, saya minta maaf, Anda boleh menghukum saya, saya akan menerima hukuman apapun yang akan Anda berikan.” Ucap Mark dengan kepala tertunduk dalam, menyadari akan kesalahannya.

Chanyeol boleh saja khawatir dengan keadaan Renjun, Mark juga bersalah karena tidak menjaga Renjun sesuai dengan janji yang ia ucapkan saat meminta izin. Namun, Chanyeol tidak bisa begitu saja melimpahkan semua kesalahan pada Mark begitu saja, apalagi tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan musibah itu akan datang.

Sebuah tepukan pada bahu Mark membuat pemuda itu mendongak menatap sang Ayah, “Tak apa, Ayah tahu kau pun juga tak ingin semuanya jadi seperti ini, semua itu di luar kehendakmu.” Ujar Chanyeol memberi jeda pada kalimatnya, “Lalu, bagaimana keadaan Renjun? Kalian tidak terluka, kan?”

Mark menoleh pada Renjun sesaat sebelum menjawab pertanyaan sang Ayah, “Tidak ada luka serius, tapi sepertinya Renjun mengalami shock berat hingga membuatnya tak sadarkan diri.”

Saat kembali, Mark segera meminta dokter Istana untuk memeriksa kondisi sang adik. Memang benar, tidak ada luka serius tapi lagi-lagi Renjun mengalami gangguan panik yang membuatnya tak sadarkan diri.

Mark maklum dengan apa yang terjadi, siapa saja pasti akan ketakutan bila ada di posisi Renjun seperti tadi, apalagi Mark nyaris saja kehilangan kendali. Bukan menyelamatkan, bisa jadi Mark justru melukai Renjun dan orang-orang yang tak bersalah jika sampai terlambat untuk mengontrol serangannya.

Mendengar penjelasan sang anak, Chanyeol kemudian membawa tungkai mendekat pada tempat di mana Renjun tengah berbaring dengan kedua mata terpejam. Tidak perlu mencari tahu atau menggali lebih banyak perihal bagaimana dan apa yang terjadi selama dua puluh tahun belakang, membayangkan bagaimana hidup Renjun seperti itu saja membuat Chanyeol merasa malu dan tidak pantas untuk berdiri di hadapan Renjun. Anak ini berjuang untuk bertahan hidup, sedangkan dirinya bisa makan dan tidur dengan tanpa kekurangan apa pun. Maaf saja tidak akan pernah cukup untuk menebus semua waktu-waktu mengerikan yang Renjun lewati seorang diri.

Chanyeol duduk di tepi tempat tidur Renjun, tangannya bergerak guna menyentuh serta menggenggam tangan Renjun yang tampak kurus dan rapuh. Chanyeol kecup punggung tangan Renjun dengan lembut, “Wahai Dewa, apa kesalahan yang telah aku perbuat kepadamu sampai kau menghukumku dengan cara seperti ini? Tidak bisakah kau pindahkan seluruh rasa sakit yang putraku rasakan, padaku? Jangan sakiti dia, sudah cukup banyak penderitaan yang dia alami, jika kau memang belum puas, limpahkan semua rasa sakit itu padaku.” Batinnya menyuarakan sebuah protes dan meminta keadilan untuk sang anak.

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang