IRIS 15

3.3K 540 57
                                    

- I R I S -

;


Besok adalah hari keberangkatan Jeno menuju Ibukota, manor yang sebelumnya menjadi incaran telah berhasil menemukan kesepakatan dengan sang pemilik, sehingga kini manor tersebut telah resmi berganti kepemilikan atas nama Duke Jeno. Semua barang penting yang sekiranya Jeno butuhkan telah dikemas dengan baik berkat bantuan Haechan. Sebenarnya tidak banyak barang bawaan yang Jeno bawa, akan tetapi entah kenapa jadi ada banyak peti yang siap di angkut kereta barang menuju manor lebih awal.

Sesuai permintaan Jaemin atau lebih tepatnya paksaan dari Jaemin, Jeno meluangkan waktu untuk berbincang dengan Haechan mengingat bahwa masih terjadi perang dingin antara dirinya dan Jaemin.

“Haechan, apa kau tahu persamaan antara dirimu dan kopi?”

Saat mendapati pertanyaan tak terduga semacam itu dari sang tuan, tentu saja Haechan kebingungan. Lagi pula, apa Duke Jeno sedang mengejek Haechan karena kulitnya yang gelap mirip dengan kopi yang berwarna hitam?

“Sama-sama hitam? Manis?” Jawab Haechan sekenanya, toh dia tidak paham dengan apa yang sebenarnya ingin sang Duke sampaikan.

Jeno menyeringai kecil, “Bukan itu..” Pemuda dengan bola mata berwarna merah itu menatap langit yang ada di balik jendela ruang kerjanya, kemudian kembali menatap Haechan yang masih setia berdiri di balik meja bersebrangan dengannya. “Yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan. Sama seperti dirimu, meskipun kau bukan seseorang dengan latar belakang keluarga yang terpandang, tapi bukan berarti kau pantas untuk diremehkan. Berhenti menilai rendah tentang dirimu Haechan, kau hebat dengan caramu sendiri.”

“Saya masih tidak mengerti, apa maksud Anda, Duke?”

Tampaknya Jeno memang tidak bisa berbasa-basi lagi, memang yang lebih bagus adalah bicara terus terang, “Bersandar pada seseorang dengan status yang lebih tinggi dibandingkan dirimu itu bukan suatu kesalahan. Jaemin memang menyebalkan, terkadang dia juga lamban dalam memahami situasi. Tapi, perasaannya padamu bukan hal yang perlu kau ragukan.”

Sekilas Jeno dapat melihat pupil mata Haechan melebar, akan tetapi hanya sebentar sebab Haechan kembali menujukkan ekspresi tenang. Sekarang, Haechan paham mengapa Jeno mengatakan bahwa dirinya sama dengan kopi. Tapi, apakah masalah ini memang hanya sesederhana itu? Tentu saja tidak.

Haechan sekalipun tak pernah meragukan perasaan Jaemin padanya, sejak awal pemuda itu memang tak mencoba menutupi ketertarikannya pada Haechan. Akan tetapi, seperti yang Jeno katakan, Haechan terlalu menilai rendah dirinya, pun dia takut apabila bersanding dengan Jaemin, justru akan membuat pemuda itu berada dalam masalah yang lebih rumit karena latar belakang Haechan yang bukan dari kalangan bangsawan kelas atas.

“Pasti sulit untukmu membuat keputusan, tapi percayalah, Jaemin bukan orang yang akan melepaskanmu dengan mudah, Haechan.”

Haechan tersenyum kecil pada Jeno, tahu bahwa maksud dari sang tuan baik dengan ingin memperbaiki hubungan antara dirinya dan Jaemin. Ah, rasanya Haechan sangat kekanak-kanakan sekali, merajuk tidak jelas, bersikap dingin dan bahkan mengabaikan Jaemin hanya karena satu hal yang tidak dia sukai.

“Terimakasih untuk nasehatnya, Duke.. Sepertinya saya sedikit mengerti sekarang,”

Mendengar jawaban Haechan, Jeno mengangguk pelan, “Segera berbaikan dengannya, kau tahu? Aku mulai merasa kesal melihat wajah masam Jaemin,”

Haechan terkekeh pelan, “Setelah ini saya akan berbicara dengan Jaemin.” Ungkap Haechan sebelum keluar dari ruangan Jeno.

Sepeninggal Haechan. Jeno kembali menatap langit biru dari balik jendela ruang kerja. Andaikan saja Jeno juga bisa segera berbaikan dengan Renjun, atau setidaknya berbicara dengan sang submisive. Sayang, saat ini sulit sekali untuk Jeno bisa berbincang dengan Renjun, jangankan berbincang, bertemu saja kemungkinannya sangat kecil. Jeno tertawa, menertawakan kebodohannya.

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang