IRIS 25

1.8K 267 13
                                    

- I R I S -

;

Dalam ruangan yang remang-remang, tampak seorang pria paruh baya dengan wajah garang duduk di kursi besar. Cahaya lampu yang redup menyinari wajahnya, membuat matanya berkilat penuh amarah. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, suasana di ruangan tersebut terasa mencekam. Di hadapannya, ada dua pemuda berbadan tegap yang menundukkan kepala, tampak ketakutan akan kemarahan pria paruh baya itu.

"Jadi, kalian sudah membunuhnya?" tanya pria paruh baya itu dengan suara lirih namun menegangkan.

"Benar tuan, kami sudah membunuhnya," jawab salah satu pemuda dengan gemetar.

"Lalu, dimana jasadnya?! Aku bilang untuk membawa jasadnya, sialan!" bentak pria paruh baya itu, membuat kedua pemuda itu semakin ketakutan.

"Maaf, saat kami hendak membawa jasad Yang mulia Raja, seseorang telah lebih dulu membawanya. Kami pikir itu anggota kelompok lain. T-tapi kami yakin, beliau sudah mati!" ujar pemuda yang satunya, berusaha meyakinkan sang tuan.

Pria paruh baya itu menghela napas, lalu memijit pelipisnya seolah mencoba menahan amarah yang menggebu-gebu. Dia merasa seolah tak ada satu pun rencana yang berjalan mulus dalam hidupnya. Setiap kali dia mengandalkan orang lain, pasti saja hasilnya tidak sesuai dengan harapan.

"Sudahlah, keluar kalian!" perintah pria paruh baya itu, mengusir kedua pemuda itu dari ruangannya. Mereka pun berlalu pergi dengan langkah ragu dan terbata-bata.

Sendirian di ruangan yang gelap, pria paruh baya itu merenung dengan perasaan yang tercampur aduk. Rasa marah, kecewa, dan ketidakpercayaan bercampur menjadi satu, menyisakan kepahitan yang mendalam di hatinya. "Kenapa selalu seperti ini?" gumamnya sendiri, sebelum akhirnya menenggak segelas minuman keras yang telah menemani hari-harinya yang gelap.

“Baiklah, mari kita tunggu sebentar lagi.. Jika ia kembali hidup-hidup, artinya dia sudah bertemu dengan manusia suku rendahan itu.”

«────── « ⋅ʚ♡ɞ⋅ » ──────»

Renjun terbangun di sebuah kamar yang luas, di dalam mansion milik Duke Jeno. Cahaya matahari pagi yang lembut merayap masuk melalui jendela besar, menyelinap di antara gorden tipis yang menggantung dan mengeja sebuah tarian cahaya yang menenangkan di lantai kayu yang bersih. Kamar ini dihiasi dengan furnitur kayu yang klasik dan elegan, dengan beberapa lukisan terkenal menghiasi dinding-dinding putih bersih. Keseluruhan ruangan menciptakan perasaan yang ringan dan damai.

Sekeliling kamar dipenuhi aroma bunga-bunga segar yang berasal dari vas yang diletakkan di atas meja samping tempat tidur. Suara burung-burung yang berkicau riang di luar jendela menambah suasana pagi yang menyenangkan.

Renjun bangkit dari tempat tidur yang nyaman, melepaskan selimut tebal yang menutupi tubuh. Bersamaan dengan itu, suara ketukan pada pintu berhasil menarik atensi.

Sosok tak asing masuk ke dalam kamar dengan membawa air untuk membasuh wajah Renjun.

“Oh, Anda sudah bangun rupanya.” ucap seorang yang tak lain adalah Haechan, ia secara khusus di tunjuk oleh Jeno guna melayani kebutuhan Renjun selama berada di sini. “Saya membawa air untuk cuci muka, para pelayan juga telah menyiapkan air mandi dan pakaian untuk Anda.”

Bukannya Renjun takut, walau sedikit lupa tapi Renjun tahu bahwa orang yang tersenyum ramah di depannya ini bukan orang yang berbahaya, apalagi ini adalah kediaman Jeno. Namun Renjun sedikit kecewa karena bukan Jeno yang datang.

“Jeno?”

“Ah, Tuan Duke sedang menyelesaikan beberapa laporan, beliau akan segera datang setelah Anda selesai bersiap.”

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang