IRIS 16

2.9K 509 49
                                    

- I R I S -

;

Setelah sang Raja yang pergi, kini giliran Mark yang harus memenuhi panggilan dari menara sihir. Terus terang, Mark enggan pergi meninggalkan Renjun apalagi hubungan mereka masih belum bisa di katakan baik. Tapi karena ini adalah hal mendesak, Mark jadi tidak bisa beralasan dan harus memenuhi tanggung jawabnya.

Apakah Renjun sedih karena harus di tinggal oleh Mark?

Entahlah, mungkin karena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran sang kakak yang tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengusik ketenangan, Renjun jadi merasa sedikit tak rela. Akan tetapi, Renjun juga tidak menahan Mark yang harus berangkat hari ini. Toh, dia bukan lagi anak kecil yang suka merengek.

“Aku akan kembali secepatnya, jadi jangan terlalu sedih.” Begitu yang Mark ucapkan saat berpamitan dengan Renjun sebelum pergi. Dilihat dari manapun Mark-lah yang tampak sedih saat berpamitan, sedang Renjun masih dengan ekspresinya yang datar.

Jika biasanya Renjun akan menghabiskan waktu dengan bersantai di gazebo dekat danau sembari menikmati secangkir teh hangat dan kue kering, maka berbeda dengan hari ini. Kalau boleh jujur, sebenarnya Renjun mulai bosan dengan kesehariannya yang tidak banyak melakukan aktivitas, kehidupan ini terlalu santai dan apapun yang Renjun inginkan selalu pelayan yang menyiapkan. Ya, Renjun hanya belum terbiasa dengan kehidupannya saat ini.

Saat ini, Renjun tengah berada di dalam kamar, duduk pada salah satu kursi yang ada di dekat jendela seraya atensi menatap dedaunan yang berwarna hijau, langit biru dan burung yang terbang bebas di luar sana.

“Apa aku benar-benar boleh menikmati semua ini?” Batin Renjun bertanya-tanya, meski tak pernah mendapatkan jawaban yang jelas dari pertanyaan tersebut.

Renjun bukan tidak bersyukur, namun setelah mengalami semua hal buruk sepanjang hidup entah bagaimana Renjun harus menjelaskan perasaan yang bercampur dalam hati. Jauh dalam sudut hatinya, Renjun takut bila semua ini hanya bagian dari mimpi yang kelak akan lenyap saat dirinya terbangun dan kembali menyadari bahwa kenyataan tidak seindah harapan.

Sebelah tangan Renjun menyentuh bagian dada, lantas meremas pelan baju yang di kenakan. “Dewa, sebenarnya kehidupan seperti apa yang kau tulis dalam takdirku? Kau ingin aku bagaimana? Apa gunanya kekuatan yang dapat menyembuhkan bahkan menghidupkan kembali orang yang berada di ambang kematian ini? Berkah? Di bagian mana dari kekuatan ini bisa disebut sebagai berkah? Aku benar-benar tidak mengerti, bahkan kau tidak mengizinkanku untuk mati saat aku menginginkannya.”  Renjun tersenyum masam, sebanyak apapun dia bertanya, Dewa tidak akan pernah menjawabnya.

Harapan Renjun sangatlah sederhana, dia tidak  membutuhkan berkah, kekayaan ataupun kekuasaan. Renjun hanya ingin punya keluarga yang memeluknya dan melimpahkan seluruh kasih sayang saat dia lelah dihantam kejamnya dunia. Renjun hanya ingin punya tempat kembali saat seluruh dunia menolak kehadirannya. Renjun hanya ingin rumah untuk singgah saat kedua kaki tak lagi dapat berpijak.

Bisakah Renjun percaya sepenuhny pada orang-orang yang mengatakan bahwa mereka adalah keluarganya? Apakah mereka tidak akan meninggalkan Renjun atau berpaling saat tahu Renjun tidak sesuai dengan harapan mereka? Bisakah?

- I R I S -

Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak pada Jeno. Bagaimana tidak? Sehari setelah kepindahannya dari wilayah Ducy ke ibu kota, sebuah surat resmi bersegel kerajaan yang tak ia sangka tiba di kediaman.

Awalnya Jeno sudah kebingungan tentang bagaimana cara agar lebih dekat dengan Renjun yang tinggal di istana, bahkan sempat terlintas dalam benak Jeno untuk diam-diam menyusup, meski agaknya cara itu tidaklah bermoral bagi seorang Duke hebat seperti dirinya.

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang