Sejak Bhre menjemput ke kantor, Pijar merasa hubungan mereka seperti berjarak. Bhre sering pulang malam dan sudah pergi saat Pijar bangun. Kalaupun di rumah, Bhre akan selalu menghabiskan waktu bersama Nala dan suaminya pun tak minta jatah untuk dilayani.
Beberapa malam ini, entah kenapa Pijar ingin melewati malam bersama Bhre. Sudah seminggu mereka tak bergumul, dan hal itu membuat Pijar merasa aneh. Walau biasanya Bhre sibuk, tetapi dia selalu meminta jatah setiap ada waktu. Paling tidak, dua kali seminggu Bhre akan mengajaknya bercinta.
Pijar hanya bisa mengembuskan napas panjang karena tidak pernah sebingung ini. Walau Bhre terlihat biasa, tapi Pijar merasakan ada yang lain. Apakah suaminya benar-benar marah karena penolakannya malam itu?
Pijar meringis meremas perutnya. Melihat bercak kemerahan di sprei, dia tahu bahwa tamu bulanannya sudah datang. Wanita itu teringat kata Dinar bahwa saat haid adalah waktu yang tepat untuk memasang IUD. Namun, sisi hati yang lain menolak. Dia terlalu takut dengan tindakan medis. Apalagi saat melihat tubuh bayi Nala yang baru lahir dipenuhi alat, Pijar semakin phobia dengan jarum suntik.
Seperti biasa pesan yang ditulis tangan Bhre tergeletak di nakas samping tempat tidur. Pagi, jangan lupa kontrolin Nala.
Pijar mendesah. Hanya tulisan cakar ayam Bhre yang menyapanya. Ya, setidaknya Bhre masih ingat untuk berkomunikasi dengannya mengingat semalam Bhre baru pulang tengah malam dari seminar di luar kota.
Tak ingin melupakan tugas bulanannya, Pijar pun menjemput Nala untuk kontrol bulanan ke dokter spesialis jantung anak. Selama perjalanan menuju ke rumah sakit, Nala melakukan aksi tutup mulut. Anak kecil itu bahkan membuang muka. Baru ketika mobil terparkir manis di parkiran atas, Nala menoleh ke arah Pijar dan membuka suara.
"Manda, Nala nggak mau ketemu Om Bagus!" Nala meremas seatbelt yang melintang di dada dengan erat dengan bibir yang memberengut.
"Kenapa, Sayang? Om Bagus pasti kangen sama Nala." Padahal kontrol selama ini, Nala tidak pernah membuat drama. Anak itu selalu kooperatif mengikuti apapun prosedur yang diberikan padanya. Namun, sebenarnya Pijar memahami kebosanan Nala yang setiap bulan harus unjuk muka ke dokter spesialis anak konsultan jantung.
Nala menggeleng kencang. "Nala pengin ke sekolah. Sekarang ada pesta sekolah."
Pijar menghela napas, berusaha meraup kesabaran. Kalau misalnya ada Bhre di sini, pasti semua akan lebih mudah. Dia lalu menyandarkan punggung di sandaran jok. Pandangannya nanar tertuju pada laki-laki yang menggendong anaknya dan wanita berhijab hijau tosca berjalan di sampingnya. Dalam hati, Pijar juga ingin Bhre bisa menemani seperti itu. Ia pun ingin dikuatkan karena setiap kali ada tindakan untuk Nala saat pemeriksaan bulanan, rasanya dia ingin meraung karena tidak tega badan kurus itu ditusuk-tusuk jarum. Namun, Nala selalu berkata, "Nala nggak pa-pa, Nda. Manda jangan nangis."
"Nala, Manda janji setelah ini kita akan jalan-jalan," ujar Pijar.
Bibir mungil itu mencebik. "Nala pengin main sama teman-teman."
"Please, Sayang. Hari ini jadwal kita kontrol, karena Om Bagus besok mau ke Inggris."
"Nggak mau! Nala juga pengin tahu gimana pesta sekolah! Manda jahat!" Nala melepas sabuk pengamannya dan menarik handel pintu mobil.
Seketika mata Pijar membeliak. Gerakan cepat Nala saat melompat dari mobil, tak bisa dia ikuti. Pijar lalu keluar dari mobil tanpa membawa apapun karena lebih mementingkan Nala.
Tanpa melihat ke kanan kiri, Nala terus berlari tanpa tujuan. Sementara itu, dari jauh Pijar melihat truk yang melaju cukup kencang dari bawah melalui kaca tikungan. Pijar mempercepat langkah dan berharap anaknya tidak berbelok ke kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetheart (Completed)
RomanceDikarunia putri mungil yang menderita penyakit jantung bawaan, membuat Pijar Arunaputri merasa bersalah dan berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi Nala Nindita. Dia akan melakukan segalanya demi kebahagiaan sang putri, termasuk menunda kehamilan. ...