Pijar tersentak, mendengar ucapan Nala. Apa maksudnya? Nada suaranya terdengar seperti pesan terakhir sebelum berpisah. Persis seperti yang dilakukan Papa dulu sebelum ke surga.
"Nala ngomong apa sih? Kita kan bisa jalan-jalan seperti ini terus, setiap saat, setiap waktu." Pijar memeluk Nala erat. Senyumnya canggung menyembunyikan dada yang sesak. "Kita akan membuat kenangan indah setiap hari."
"Nala mau mati, Nda."
Kuduk Pijar seketika berdiri. Rahangnya seolah tertarik ke bumi, bertepatan dengan decitan roda yang berhenti mendadak. Pandangannya bersirobok dengan Bhre sesaat. Rona keduanya sama-sama pucat seperti mayat.
Susah payah Pijar menelan ludahnya untuk menggelontorkan nyeri, lalu mendorong pelan Nala. "Siapa yang bilang?" Suara Pijar bergetar, mencengkeram kedua bahu Nala.
"Kata Aldo kapan lalu itu. Dia cerita, dia nggak masuk karena mbah kakungnya meninggal karena sakit jantung. Berarti bentar lagi Nala mati ya, Nda? Nala kan sakit jantung?"
Batin Pijar tercabik. Matanya seketika terasa panas menguapkan kebahagiaan di sore itu. "Nggak. Beliau meninggal karena sudah tua. Nala kan masih anak-anak."
"Tapi, kenapa adeknya Bintang bisa meninggal. Dia masih bayi malah. Baru lahir pula."
Pijar gelagapan mendapati tuntutan pertanyaan Nala. Gadis kecilnya itu tak mudah puas dengan jawaban yang diberikan padanya.
"Sweety, mungkin Nala belum bisa paham omongan Panda. Tapi meninggal itu adalah sebuah misteri. Hanya Tuhan yang tahu. Manusia meninggal juga nggak lihat apa dia laki atau perempuan, kaya apa miskin, tua atau muda, dan sehat atau sakit." Bhre tersenyum. Tak ada sedikit pun raut khawatir atau sedih yang tergurat di wajah. "Selama kita hidup, gimana pun kondisinya, kita harus mensyukuri yang kita punya."
Pijar memalingkan wajah, mendengkus. Mensyukuri yang kita punya? Apakah Bhre berbuat demikian? Laki-laki itu justru melakukan hal yang sebaliknya karena bermain api dengan cinta lamanya. Tak mensyukuri bahwa Bhre punya istri yang sangat mencintai suaminya dan putri yang cerdas.
"Misteri itu apa, Panda?"
Kini giliran Bhre yang kebingungan. Ia terkekeh, mengerling pada Pijar dan memberi isyarat gerakan dagu untuk membantunya.
"Misteri itu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu." Pijar menyahut membantu menjawab.
"Trus, kalau Nala mati, apa Nala nanti masuk surga jadi malaikat gitu? Nala anak baik kan, Nda?"
"Sekarang pun Nala sudah jadi malaikatnya Panda dan Manda."
Jawaban Bhre semakin menggerus batin Pijar. Namun, sekuat tenaga ia tetep berusaha tegar. Ia yakin, Nala akan sehat dan tetap menjadi buah hatinya.
***
Pijar menjadi lebih diam saat mereka berjalan-jalan di mall. Walau tubuh wanita itu ada di sana, tapi pikirannya seolah melalang buana. Biasanya Pijar akan mengajak Bhre untuk melihat-melihat barang-barang diskon yang ditawarkan departement store itu. Namun, barang murah yang dipajang itu kini tak membuatnya tertarik. Ia memilih menuruti Nala memasuki toko buku untuk melihat-lihat koleksi crayon serta pensil.
Sembari menanti Nala menjelajah tiap sudut toko di bagian alat tulis, Pijar melihat buku psikologi. Ada satu judul buku yang menarik perhatiannya sehingga ia mengambilnya dari rak.
"Nda, kok diem?" Bhre mendekati Pijar yang sedang memegang buku bersegel.
"Nggak." Pijar menjawab seadanya. Matanya masih tertuju pada barisan kata yang tercetak di sampul belakang. Ia tidak ingin menunjukkan pada orang di sekitarnya termasuk Nala, betapa perasaannya tak baik-baik saja detik ini. Ia sedih karena ucapan Nala sewaktu di jalan tadi dan juga memikirkan hubungannya dengan Bhre. Sejak pertengkaran semalam, sekat tak kasatmata antara mereka seolah terbentang lebar.
![](https://img.wattpad.com/cover/336291670-288-k872902.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetheart (Completed)
RomansaDikarunia putri mungil yang menderita penyakit jantung bawaan, membuat Pijar Arunaputri merasa bersalah dan berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi Nala Nindita. Dia akan melakukan segalanya demi kebahagiaan sang putri, termasuk menunda kehamilan. ...