12. Perlakuan Bhre

919 137 45
                                    

Sejenak keheningan menyapu bilik kecil itu. Keriuhan aktivitas instalasi gawat darurat itu seketika senyap, kala Pijar menanti jawaban Bhre. Hanya detak jantung yang berdetak yang memenuhi telinganya.

"Panda, sudah ada …."

Ucapan Bhre itu layaknya belati yang memecah sunyi. Suara-suara di sekitarnya sontak merangsek masuk ke liang telinga Pijar, seolah ingin meredam kalimat itu. Apa yang Pijar harapkan? Apa keinginannya agar Bhre memilihnya alih-alih pasien yang masih bisa ditangani dokter lain, terlalu tinggi?

Tangis Nala pecah. Lolongan kerasnya menggaung di IGD yang sibuk. "Panda jahat! Nala nggak mau punya papa dokter!" Nala memukul pundak Bhre yang hanya pasrah menerima pukulan sang putri.

Melihat putrinya mengamuk, Pijar pun segera menegakkan separuh tubuhnya. Dalam kondisi kepala yang masih berdarah-darah, dia memeluk Nala. "Nala Sayang, nggak boleh gitu. Panda ada tugas. Manda nggak pa-pa. Cuma luka kecil ini."

Bhre menatap istrinya dengan nanar. Dia menghela napas sambil melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan kanannya. "Dek, titip istri sama anak saya, ya. Saya ambilkan tas dulu."

Kepala Pijar semakin perih mendengar Bhre hendak pergi. Namun, bukankah ia harus memahami profesi Bhre? Ingin rasanya Pijar berteriak menahan Bhre agar tidak pergi. Tapi, tenggorokannya justru seperti terjepit, tak bisa menggetarkan kata.

Sunyi ….

Walau lalu lalang terhampar di depannya.

Sepi ….

Meski bising rintih kesakitan dan percakapan dokter pasien, bergantian ke luar masuk ke telinga.

Ingatan Pijar seolah terlempar lagi ke masa lalu di mana ia harus berjuang melahirkan Nala seorang diri. Dikuatkan Mama yang senantiasa menahan tangisnya agar Pijar kuat. Ditemani laki-laki yang hanya berstatus sahabat kecil.

"Pijar!" Napas Pilar terenggah. Dadanya kembang kempis dengan rona muka yang sudah menguap.

"Om Pilar!" Nala merengek, mengangkat kedua tangannya pada Pilar.

Mengetahui bahasa tubuh Nala, pria yang membalut tubuh dengan doctor scrub pink bermotif Mickey Mouse pemberian Dinar itu menggendong keponakannya.

Pijar menggigit bibirnya erat. Ingin Pijar memeluk Pilar, saudara yang lahirnya hanya selisih menit. Matanya kembali berkaca-kaca. "Pilar, aku mau diapain?"

"Tenang aja." Pilar berusaha menenangkan. "Bentar lagi Bhre ke sini."

Sayangnya, tak semudah itu Pijar bisa ditenangkan. Ujaran kembarannya justru membuat Pijar semakin kesal. Apa Pilar tidak tahu Bhre sebegitu dekatnya dengan Vina yang menjadi biang kesialannya? Apa Pilar masih menjadi pendukung nomor satu Bhre Cakrawala karena selalu berusaha membela Bhre?

"Kenapa bisa jatuh?" tanya Pilar lagi sambil mengusap punggung Nala.

"Semua gara-gara sahabatmu!" Pijar berusaha menekan suaranya supaya tak didengar Nala.

"Sahabat?" Alis lebat Pilar mengerut. "Dinar? Bhre?"

Pijar mendengkus. Kenapa Pilar harus bertanya siapa? Mestinya Pilar sudah tahu jawabannya.

"Siapa lagi kalau bukan ... te-man ter-ba-ik-mu se-jak SMA!" Pijar meringis setelah mengeja beberapa kata terakhir. Kejengkelannya membuat pelipisnya berkedut.

"Loh, kenapa sama pandanya Nala?"

"Kamu nggak tahu dia deket sama dokter gigi itu?"

Kerutan di dahi Pilar semakin tergurat jelas. "Tahu. Trus apa hubungannya sama jatuhmu?"

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang