16. Ibadah Menyenangkan

956 116 19
                                    

Silakan vote

Komen

read ....

💕💕💕

Rahang Pijar mengerat. Namun, ia tetap menjawab walau lidahnya kelu. "Suami saya ada, Dok?"

"Ah, Bhre lagi operasi."

Susah payah Pijar menelan ludahnya sendiri. Berbagai pikiran buruk menyusup dan mengikis kepercayaannya. "Kok hpnya ada di Mbak?"

"Tadi pagi pas berangkat, Bhre buru-buru."

Telinga Pijar berdenging. Banyak hal yang ingin ia tanyakan. "Suami saya semalam di tempat Dokter?"

"Iya. Kemarin habis-"

"Oke, makasih," potong Pijar cepat dan buru-buru menyudahi percakapan yang bisa membuat oleng kewarasannya.

Panggilan kemudian terputus sepihak memotong kalimat Vina. Ia menatap layar gawai yang perlahan meredup seiring pandangannya yang mengabur. Ditengadahkannya kepala, berusaha menahan air mata yang hampir luluh. Tidak! Ia tak boleh menangis! Pijar tidak akan selemah itu karena ada hal penting yang harus ia kerjakan. Namun, tetap saja pikiran Pijar tertuju pada percakapan via telepon barusan. Kenapa Vina bilang 'tadi pagi Bhre berangkat buru-buru' seolah gadis itu istrinya? Apakah Bhre bermalam di sana?

Dering telepon yang menggaung menjeda lamunannya. Ia mengangkat panggilan dari mandor proyek di Dinas Pendidikan.

"Bu, Pak Ratno protes sama pemasangan wallpaper kita di ruang kepala. Katanya motif wallpapernya bukan itu." Laporan via telepon dari karyawan di bagian lapangan itu membuat Pijar mengerutkan alis.

"Maksudnya 'bukan itu' gimana? Bukannya wallpapernya sudah kita siapkan sesuai pesanan?" Kepala Pijar seketika berdenyut.

"Iya, Bu. Tapi ternyata kemarin Pak Ratno minta ganti motif. Waktu saya mau membela diri, beliau menunjukkan lembar spesifikasinya yang ada di dokumen yang sudah ditandatangani."

"Bagaimana bisa?" Nada suara Pijar meninggi.

"Saya sudah konfirmasi bagian logistik, katanya mereka salah mengirim dokumen pemesanan yang belum direvisi."

Pijar menepuk dahinya. Ia memang telah menandatangani revisi dokumen yang kemudian diserahkan ke bagian logistik yang akan menyediakan bahan-bahannya. "Berarti, itu motif timbul bunga-bunga warna cokelat?"

"Iya, Bu. Trus ini gimana?"

Pijar menggigit sudut bibir kiri. Kuku jari jempol kanannya sudah menjadi sasaran kegelisahannya. "Sudah dipasang?"

"Sudah, Bu."

Dengkus halus berembus dari hidung mancung Pijar untuk mengusir kejengkelan atas keteledorannya. "Ya sudah. Kalau mau, biarkan tetap terpasang. Kita akan tetap berikan harga yang sama. Kemarin beliau minta motif ini, tapi dari segi satuan harganya nggak bisa masuk anggaran mereka."

"Tapi tadi Pak Ratno nggak mau. Beliau tetap ingin spesifikasinya sesuai dokumen."

Otak Pijar semakin panas. Ia mulai mengkalkulasi harga wallpaper yang terbuang. Bila Pak Ratno meminta ganti, dia keluar ongkos lebih banyak. Jelas perusahaan akan rugi karena kecerobohan untuk kesekian kalinya. Seharusnya ia mengingatkan anak buahnya supaya tidak keliru mengirimkan dokumen.

"Pak Kevin akan ke sana. Bicarakan masalah ini sama beliau." Lagi-lagi, nama Kevinlah yang terlintas di otak Pijar. Siapa lagi kalau bukan sahabat kecilnya yang selalu bisa Pijar andalkan di saat ia tak sanggup berpikir. Sepertinya, ia tidak berbakat dalam manajemen karena akhir-akhir ini segala sesuatu tak ada yang berjalan sempurna sesuai keinginan wanita itu sehingga timbul kekacauan. Sayangnya, di saat Pijar merasa terpuruk, bukan Bhre yang menjadi sandaran. Justru Kevinlah yang menjadi teman di kala susah.

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang