17 (a). Drama Pagi Hari

831 109 10
                                    

Kekhawatiran Pijar bahwa Bhre akan mengetahui ada alat pencegah kehamilan di tubuhnya ternyata tidak terbukti, karena selepas olahraga malam itu Bhre tertidur pulas. Ia kini bisa bernapas lega sebab ucapan Dinar terbukti. Meski tak ada keluhan berarti setelah pemasangan IUD dan tak mendapati reaksi Bhre saat percobaan pertama, tetap saja wanita itu was-was bila suaminya merasakan sesuatu di dalam relung tubuhnya. Apalagi sore tadi, Bhre memberitahu bahwa ia tak ada jadwal on call operasi yang menjadi kode bahwa Bhre ingin menyemai benih.

Untungnya, malam ini Nala menyelamatkannya. Putrinya ingin tidur bertiga bersama manda dan pandanya. Padahal biasanya, Nala tidur sendiri di kamarnya.

"Sweety bobok sendiri ya?" Untuk kesekian kali Bhre membujuk Nala.

"Memang kenapa nggak boleh bobok sama Panda dan Manda? Nala kangen." Nala memberengut dengan kedua tangannya terlipat di depan dada.

Bhre memandang Pijar sekilas, meminta bantuan untuk membujuk Nala. Namun, wanita itu hanya mengangkat bahu seolah pasrah. Padahal ia sangat paham, suaminya berusaha mengejar setoran benih di masa subur, walau nantinya hasilnya akan sia-sia. Sekuat apapun perjuangan Bhre berusaha menghamilinya, pembuahan akan gagal. Benih Bhre akan mati sebelum sempat membuahi sel telurnya.

"Loh, katanya Nala pengin punya adik? Ini Panda dan Manda mau berdoa biar Nala punya adik," ucap Bhre mulai mengarang cerita.

Seketika Pijar membeliak dan memekik. "Panda!"

Mendengar ucapan papanya, Nala berteriak kegirangan. "Aku mau ikut berdoa sama Panda dan Manda supaya punya adik bayi yang sehat."

Seketika kedua orang dewasa itu melongo. Mereka saling tatap dan tawa mereka akhirnya meledak mengetahui reaksi jantung hati mereka. Bhre lalu memeluk putri kecilnya dan mencium gemas Nala.

"Panda, lepas!"

Pijar menatap interaksi keduanya dengan senyum mengembang walau dalam lubuk hatinya merintih. Seandainya tidak ada masa lalu Bhre, tentu momen seperti ini menjadi hal yang membahagiakan. Sayangnya, pemandangan di depannya ini membuat batin tercubit.

Karena Nala tetap kukuh pada pendiriannya, pada akhirnya, Bhre mengalah. Nala diperbolehkan tidur dengan mereka malam itu sehingga Pijar terbebas dari tugasnya melayani suami. Namun, beberapa saat selepas Nala terlelap getar gawai Bhre kembali mengusik malam yang merangkak semakin larut.

Masih memejamkan mata, Pijar mendengar Bhre mengangkat gawai yang berdering.

"Hallo?" Suara dalam Bhre menggaung di ruang tidur.

Alis Pijar bertaut, memasang telinga. Tapi, ia tak bisa mendengar percakapan Bhre karena lelaki itu buru-buru bangun dan keluar dari kamar.

Pijar penasaran dengan si penelepon. Selain dari rumah sakit, biasanya Ibu menelepon malam-malam begini. Tapi tak pernah ia dapati Bhre bercakap hingga keluar kamar seolah obrolannya begitu rahasia. Bahkan saat Vina menghubungi, Bhre tetap mengangkat telepon di depannya. Didera rasa ingin tahu, Pijar pun lantas pelan-pelan menarik lengan yang menjadi bantalan kepala Nala dan bergegas menyusul Bhre.

"Aku ke sana!" Kalimat terakhir Bhre semakin memadamkan bara kepercayaan yang berusaha Pijar jaga.

Saat Bhre buru-buru masuk, iatertegun melihat Pijar sudah berdiri di depan pintu dengan jarak dua depa darinya.

"Mau ke mana?" tanya Pijar dengan wajah tegang.

"Ah, aku ... ada operasi. Kamu tidur aja." Bhre tampak buru-buru. Pria itu menarik waist bagnya dan menyangklong di depan dada. Sama sekali tidak mengganti baju kaus dan celana pendek selutut seperti biasa yang ia lakukan bila mendapat panggilan operasi darurat.

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang