18. Arisan Keluarga

719 114 16
                                    

Pijar mengurai rangkulan Kevin. Dengan terhuyung, ia berusaha bangkit dari duduknya.

"Nda, Nala ...."

Bhre tak lekas menjawab. Wajah muramnya berkebalikan dengan cuaca cerah di luar sana. Ia mengedarkan pandangan ke beberapa orang di situ. Ada Kevin, Banu, dan Robi yang masih setia menemani Pijar.

"Ayo, pulang," kata Bhre dingin.

"Tapi, Nala ...."

"Nala ada di mobil. Tadi dia nelepon aku, tapi ndak aku angkat karena masih di OK. Pas aku dapat telepon dari Kevin sesudah operasi, aku jadi kalut trus Vina yang nawarin nyetir. Selama perjalanan aku berusaha hubungin hpmu dan pas diangkat Nala, dia bilang sama omnya. Katanya karena telepon aku nggak diangkat, dia telepon Pilar dan minta ditemenin. Pilar ke sini bawa dia ke kafe es krim sambil nungguin kamu selesai. Ya udah, aku langsung ke sini."

Suara datar Bhre membuat Pijar bergidik. Walau suaminya terlihat ramah menyapa semua pria yang ada di situ, tapi tatapan sedingin es itu sangat bertolak belakang dengan kegerahan siang hari ini. Namun, mendengar jawaban Bhre setidaknya Pijar boleh bernapas lega.

Setelah bercakap sejenak dengan orang-orang yang ada di situ, mereka berpamitan. Tak lupa Pijar menghampiri Kevin. "Vin, sekali lagi makasih."

Kevin tersenyum. Tangannya terulur menghapus pipi Pijar yang masih basah terkena air mata dan keringat. "Udah, sekarang pulang, trus istirahat. Keloni Nala aja, nggak usah bapaknya."

Pijar terkekeh antara miris dan geli melihat ekspresi Kevin. Sahabatnya itu selalu bisa menghiburnya. Di saat Bhre memberikan tatapan dingin dan wajah datar ketika menghampirinya tadi, Kevinlah yang justru memberikan pelukan hangat sama seperti ketika baby Nala hendak terlahir di dunia.

Belum sempat Pijar membuka mulut untuk menjawab Kevin, seruan Bhre menyeruak. "Pijar, ayo!"

Pijar menoleh ke arah Bhre. Ia lalu memberikan cengiran canggung pada Kevin. "Aku duluan, ya. Ati-ati di jalan."

Saat Pijar hendak berlalu, Kevin menahan tangannya. Langkah Pijar terhenti. Ia pun menoleh dengan kernyitan alis. "Ada apa?"

"Pijar ..." Ucapan Kevin menggantung di udara. Ia melirik Bhre yang bercakap dengan Vina, kemudian melanjutkan kalimatnya. "kamu harus janji bahagia sama Bhre. Kalau sampai dia bikin kamu sedih, aku janji bakal ngrebut kamu dari dia!"

"Ish, ngaco! Apa yang sudah disatukan Tuhan, nggak bisa diceraikan manusia! Dah!" Hati Pijar tercubit. Betulkah yang ia katakan? Atau sebenarnya kalimat itu semata-mata hanya untuk menghiburnya? Melihat kedekatan Bhre dan Vina yang bahkan menjemput Nala bersama, firasat Pijar sebagai seorang istri meraung. Pondasi kepercayaannya terkikis seiring langkah yang mendekati suaminya dan memperjelas tawa serta senyum Bhre yang selama beberapa hari ini tak ia lihat.

"Maaf, ya, Dok. Jadi ngrepotin," ucap Pijar basa-basi.

"Nggak kok. Kebetulan tadi pas Mas Kevin telepon, saya lagi bareng sama Dokter Bhre."

Susah payah Pijar menelan ludah. Apa definisi 'lagi bareng' ini? Kenapa Vina seolah menempel pada Bhre setiap daat setiap waktu? "Saya masuk dulu."

"Loh, Mbak di depan saja."

"Nggak usah. Mbak Vina aja yang di depan. Saya mau nemenin Nala yang lagi bobok di belakang." Pijar lalu membuka pintu SUV hitam Bhre dan masuk ke kabin di mana Nala berbaring di jok dengan pulas. Pilihannya duduk di belakang memang ia sengaja karena Pijar tak ingin Nala dekat dengan Vina.

Sepanjang perjalanan, Pijar hanya bisa duduk termenung menatap keramaian kota Yogyakarta di sore hari. Sesekali ia melirik Bhre yang bercakap riang dan sesekali tertawa menyambut cerita-cerita Vina, seolah di mobil itu hanya ada mereka berdua. Bahkan Bhre seperti melupakan kejadian yang membuat hati Pijar hampir patah berkeping karena khawatir kehilangan Nala.

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang