Bhre gagu. Ia tak bisa berkelit bahwa layar hp itu memuat gambar dirinya mengusap pipi Vina. Bahkan ada gambar lain saat ia sedang tertawa bersama Vina. "Nda ... ini? Gimana?"
"Jelaskan kenapa aku mau pisah? Bayangkan ... ketika aku banting tulang kerja keras ke sana sini buat menggenapi janjiku sama Mami ketika milih kamu, kamu malah serong! Aku nahan, Bhre! Ya, selama ini aku berusaha bertahan! Tapi, tadi pemandangan siang tadi begitu menyakitkan." Pijar menepuk dadanya yang kembang kempis dengan keras.
"Ini ... ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Nda." Bhre berlutut dengan kedua kakinya. Tangannya mencengkeram lengan atas Pijar.
"Apa bukti ini belum jelas? Mas pikir aku buta?" Mata Pijar membeliak lebar dan pembuluh di pelipis yang menonjol berkdut seolah ingin memompa amarahnya. "Coba kamu bayangin, istrimu bekerja pagi, siang, sore. Malamnya masih ngurus anakmu. Setelah kamu datang, aku masih ngeladenin nafsumu! Setelah apa yang aku lakuin, kamu makan dan tertawa lebar di depan perempuan lain? Sementara itu, yang kudengar hanyalah geramanmu di atas tubuhku! Nggak ada tawa, nggak ada candaan konyol seperti dulu!"
Jakun Bhre naik turun. Ketika fakta tersembul di hadapannya, ia tidak bisa berkelit. Sebuah foto tak bisa bercerita. Apakah Pijar percaya dengan apa yang terjadi?
"Nda, itu ndak seperti yang kamu pikirin. Maaf, aku ... aku yang buta. Aku yang nggak sadar kamu begitu kesepian. Aku juga nggak tahu kalau kamu berjuang melawan depresi. Kupikir, kamu perempuan kuat yang justru membuat aku insecure. Membuat egoku terluka karena ndak bisa memenuhi kebutuhanmu." Air mata Bhre kembali mengalir di pipi. Selama ini, ia tak pernah menumpah air mata sesakit apapun hatinya karena ditinggalkan Vina. Perempuan yang bisa membuatnya menangis hanya Pijar dan Nala, walau selama ini ia tak ingin memperlihatkannya pada Pijar.
"Percuma. Semua udah terjadi!" Pijar sesenggukan. "Aku bertahan karena Nala. Hanya itu! Tapi, kayanya aku nggak bisa lagi."'
"Nda, aku sayang kamu. Cinta banget sama kalian. Aku ... aku ...."
"Cukup!" potong Pijar. "Sekarang aku nggak mau denger penjelasan apapun! Capek, Mas!" Pijar buru-buru bangkit dan masuk begitu saja ke kamar mandi.
Sementara itu, Bhre masih duduk bersimpuh di lantai dingin. Obrolan dengan Nala sewaktu berangkat tadi berhasil membuat batinnya merintih walaupun tadi ia berusaha untuk tak menunjukkan ekspresi pilunya. Ya, Bhre pantang menangis di depan Pijar atau Nala. Sebagai kepala keluarga yang menjadi sandaran dua perempuan di keluarga kecilnya, Bhre harus kuat. Sayangnya, apa yang terjadi baru saja, berhasil menguras air matanya. Wajah Pijar yang berduka, mengiris hati Bhre sehingga ia merasa gagal menjadi suami bagi Pijar dan ayah yang baik bagi Nala. Ketidaktahuannya tentang kondisi Pijar semakin membuatnya merasa tak berguna.
Entah kenapa, ide jalan-jalan itu bukannya membuat hubungan mereka membaik, tapi Pijar justru menjauh. Malam ini, tak ada lagi kegiatan yang menguras keringat atau sekedar obrolan ringan tentang mereka. Pagi menjelang pun, Pijar tetap membisu dan bercakap seperlunya. Setidaknya ide perpisahan itu tak lagi dibahas dan Bhre berharap akan menguap setelah emosi Pijar mereda.
"Nda, Panda berangkat dulu." Bhre membungkuk hendak mencium Pijar. Tapi istrinya itu memalingkan wajah. Bhre hanya bisa mengembuskan napas kasar tapi berusaha mengembangkan senyum. Baru kali ini Pijar mendiamkannya dan ternyata sungguh menyiksa.
Di rumah sakit pun, suasana hatinya semakin memburuk. Sewaktu rapat komite medik siang ini, ia sengaja duduk di samping Pilar untuk menceritakan kegalauannya. Sayangnya, sahabatnya itu juga berlaku dingin padanya, sama sekali tidak mengajak Bhre mengobrol.
"Pilar! Tunggu!" Bhre menahan tangan Pilar setelah diskusi siang itu berakhir.
"Opo?" sahut Pilar sengit, menepis tangan Bhre, lalu meneruskan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetheart (Completed)
RomanceDikarunia putri mungil yang menderita penyakit jantung bawaan, membuat Pijar Arunaputri merasa bersalah dan berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi Nala Nindita. Dia akan melakukan segalanya demi kebahagiaan sang putri, termasuk menunda kehamilan. ...