17 (b). Ceroboh

704 113 14
                                    

Pijar berbalik, memandang Bhre sengit. "Nggak! Perusahaan itu milik Papa, dan akan aku teruskan! Lagian, aku dah janji ke Mama untuk mempertahankan warisan Papa."

Baru saja Bhre akan membuka mulut, panggilan Nala yang masuk ke dalam kamar terdengar. "Panda, mandiin Nala!"

Bhre menoleh. Wajah tegangnya seketika lumer, berganti senyum lebar. Pria itu lalu menggendong Nala yang menghampiri mereka. Sementara itu, mengetahui perhatian Bhre tertuju pada Nala, Pijar lalu melangkah masuk, menutup pintu rapat-rapat, dan segera memutar kran agar gerojokan air pancuran bisa mendinginkan kepala dan hatinya karena ucapan Bhre. Bukankah seharusnya Bhre tahu kenapa ia bekerja mati-matian? Demi bisa bersamanya pula, Pijar berjanji akan memulihkan perusahaan. Tapi, Bhre seolah melupakannya, dan menganggap remeh peninggalan Papa yang ingin Pijar jaga.

Walau batin Pijar serasa terbakar, tapi ia harus tetap meraup kesabaran. Ia tak ingin Nala tahu kalau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Seperti pagi yang lalu, mereka mengelilingi meja makan untuk menikmati sarapan sehat mereka. Kali ini, Pijar menghidangkan sayur urap dan telur rebus sesuai request putrinya.

Tak ada lagi keriuhan Pijar yang menyambut celotehan Nala. Ia lebih banyak diam, melahap sayur urap tanpa nasi di piringnya karena nafsu makannya tiba-tiba hilang.

"Nda, Nala kan libur. Boleh Nala ikut ke kantor Manda?" tanya Nala di sela kunyahannya.

Pijar tersenyum, menatap Nala yang memberikan ekspresi memohon. Hari ini jadwalnya cukup padat karena harus memonitor proyek kafe yang sudah berjalan. "Nanti Manda-"

"Manda sibuk kerja, Sweety. Jangan diganggu." Walau gaya bicara Bhre terlihat biasa, tapi nadanya seolah menyindir Pijar.

"Nanti Manda nggak terlalu sibuk kok. Nala boleh ikut Manda." Buru-buru Pijar menyahut karena tak ingin terkesan menjadi ibu yang tak perhatian.

"Jangan, Nda. Nanti Nala kecapekan. Lagian tadi Manda bilang kalau banyak urusan," larang Bhre.

"Panda ini! Nala kan sehat!" sahut suara melengking Nala.

Bhre melirik Manda, memberikan isyarat gelengan kepala.

"Nggak pa-pa, Nda. Kasihan Nala di rumah sendiri sama Mbok Sukini. Biar Nala juga bisa refreshing."

Bhre terpaksa menyetujui karena rengekan Nala yang didukung Pijar, sehingga hari ini Nala ikut ke kantor. Padahal agenda hari ini padat merayap. Bahkan kesibukan di kantor Pijar menyita waktu dan perhatiannya. Ada dokumen yang harus dia cek dan Pijar pun harus menemui calon klien yang akan membuka kantor notaris dan PPAT di daerah Gejayan.

Setelah memastikan dokumen sudah beres, dan meeting dengan beberapa tim telah usai, ia pun segera meluncur ke Gejayan bersama Nala dan salah satu anak buahnya, Banu. Sesampainya di sana, ia disambut calon kliennya dan segera bercakap di ruangan untuk mendengarkan konsep desain yang diinginkan.

Berulang kali Nala menarik ujung blus Pijar karena mulai dilanda kebosanan. Apalagi bekal makanan yang dibawakan pagi tadi sudah habis karena hari sudah siang. "Nda, Nala laper." Nala menginterupsi pembicaraan saat sang notaris menunjuk dinding ruangan untuk menggambarkan apa yang ia inginkan.

"Sabar, ya, Sayang." Pijar menepuk pundak Nala, tapi perhatiannya fokus pada obrolan dengan Robi.

"Saya kemarin lihat desain interior kantornya temen. Desainnya unik, garapannya halus, dan harganya pun terjangkau," puji Robi.

Pijar melipat bibir, mengulum senyum bangga karena desain yang ia buat disukai banyak orang. Bagi Pijar, goresan dalam setiap desainnya adalah curahan passion hidupnya. Ia tak punya kelebihan lain selain menggambar dan menciptakan sejuta ide desain yang bisa membuat kliennya tersenyum puas. "Kami akan berusaha yang terbaik. Untuk desainnya, kami akan kirimkan seminggu lagi."

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang