Sesudah Bhre meninggalkan Pijar, ia kemudian mencari Kahiyang terlebih dahulu. Ia menyusul ke kamar belakang, di mana kakak perempuan Bhre satu-satunya itu sedang menyusui bayinya.
"Mbak ..," sapa Bhre yang masih berdiri di ambang pintu. Kahiyang mendongak, menatap adiknya. "bisa temenin Pijar. Badannya kayanya nggak nyaman."
"Yakin cuma nggak nyaman badannya, Dek?" Pandangan Kahiyang kembali beralih ke bayinya sementara tangan kanannya masih memegang dada kirinya.
"Maksud, Mbak?"
"Ibu nyuruh dia berhenti kerja. Tadi. Hubungan mereka nggak sebaik yang kamu lihat loh." Kahiyang berdiri, lalu menutupi dadanya dengan selendang, dan berjalan menghampiri Bhre. "Apa kamu tahu, Bhre?"
Alis Bhre menukik tajam, mengikuti gerak-gerik Kahiyang yang memanggil anak perempuannya dan kemudian menghilang saat masuk ke kamar. Ia tak mengerti arah ucapan Kahiyang. Bukankah selama ini Pijar baik-baik saja?
Tak ingin membuang waktu, Bhre kemudian bergegas mencari Nala. Namun, baru selangkah kakinya mengayun, suara Ibu yang memanggil, menggema. Bhre menoleh dan terpaksa berbalik menghampiri Ibu.
"Pijar kenapa?" tanya wanita yang rambutnya banyak dihiasi warna keperakan.
"Oh, itu ... dia kecapekan."
"Kecapekan?" Mata Ibu membeliak lebar. "Ibu sudah bilang suruh jaga kesehatan. Ini kan yang Ibu bilang ke dia terus menerus supaya dia keluar dari kerjaan dan fokus ngurus Nala! Gimana Nala punya adik kalau begini?" Ibu menggeleng-geleng dengan raut kecewa. "Susah memang punya mantu orang kaya! Duit mulu yang dicari."
Jakun Bhre naik turun. Akhirnya ia paham maksud Kahiyang. Selama ini Ibu menyampaikannya dengan nada halus tanpa kesan emosi, sehingga apa yang diucapkan dianggap nasihat bagi Bhre. Kini ia sadar bahwa ada gelegak rasa tak nyaman di hati Ibu terkait istrinya.
Mendengar perkataan Ibu, Bhre tak bisa berkata-kata. Ia seperti memakan buah simalakama. Bila membela Pijar, Ibu akan menganggapnya anak yang melupakan ibunya. Tapi bila membela Ibu, Pijar pasti akan mengecapnya sebagai suami anak mami. "Nggih, Bu. Nanti biar saya kasih tahu mandanya Nala." Hanya itu jawaban terbaik Bhre dalam bahasa jawa kromo inggil.
Untuk sementara, Bhre letakkan dulu pikirannya tentang ucapan Kahiyang. Ia harus mencari Nala yang menurut beberapa anak berada di kali belakang rumah. Kaki Bhre melangkah cepat dan lebar menuju tempat yang ditunjukan. Beberapa menit kemudian, tampaklah Nala duduk berjongkok sedang mengelus anak kucing kampung berwarna telon.
"Sweety ...." Peluh Bhre mulai merembes karena disengat terik matahari.
Nala mendongak dengan alis yang menyatu. Kalau berekspresi seperti ini, Nala persis sekali dengan mandanya. Namun, gadis itu melengos tak membalas sapaan Bhre. Bibirnya maju ke depan yang justru terlihat menggemaskan.
Bhre lalu mendekat dan berjongkok di depan Nala. Ikut dielusnya kucing telon yang sedang dipegang putrinya.
"Cantik ya kucingnya?" Pancingan Bhre tak mempan. Mulut Nala masih mengatup.
Pria berusia 32 tahun itu memutar otak, mencari cara agar Nala tak lagi merajuk. Sementara kepalanya merangkai kata, desir angin yang cukup kencang dan meong-an kucing, mengisi keheningan mereka.
Bhre berdeham, menatap Nala yang bercakap dengan anak kucing itu. "Nala tahu kenapa Manda marah?"
Nala membisu.
"Nala Sayang, kalau ada yang ajak bicara Nala harus mendengar. Kalau ditanya, Nala jawab."
Nala mendengkus dan mendongak. "Tapi, Manda sekarang cuma diem kalau diajak omong Nala! Nala nanya, nggak dijawab!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetheart (Completed)
RomanceDikarunia putri mungil yang menderita penyakit jantung bawaan, membuat Pijar Arunaputri merasa bersalah dan berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi Nala Nindita. Dia akan melakukan segalanya demi kebahagiaan sang putri, termasuk menunda kehamilan. ...