14. Jadwal Bersama

764 125 63
                                    

Bhre mengesah setelah membaca jadwal operasi besok pagi di grup percakapan OK. Ada tiga operasi : dua bersama Vina dan satu bersama Dinar. Biasanya dia akan melakukan operasi besar terjadwal bersama dokter bedah lainnya. Namun, entah kenapa dia lebih sering bersama Vina sekarang.

"Ada apa, Mas?" tanya Pijar sewaktu mereka hendak tidur.

"Nggak." Bhre segera menekan tombol di samping kanan gawai sehingga layarnya kembali terkunci. Setelah yang terjadi pada Pijar kemarin, dia merasa sangat bersalah karena tak menepati janji pada Pijar agar tak menyebut nama Vina. Awalnya janjinya itu terasa mudah dipenuhi karena Vina tak ada di hadapannya. Tapi, begitu Vina datang, Bhre menjilat ludahnya sendiri ... berkali-kali. Bahkan hatinya sempat bergetar seperti remaja yang berdekatan dengan gebetan.

"Ayo, kita tidur. Kita juga nggak bisa bikin adeknya Nala." Bhre memeluk Pijar dan mengecup kening istrinya.

Pijar mendesis. "Ih, ngomongnya nggak banget!"

Bhre terkekeh, menghapus gundah. Dia semakin erat mendekap istrinya dan menuntunnya berbaring. "Tapi peluk-peluk kan masih boleh. Sambil megang-megang dikit."

Pijar menggeliat, ketika Bhre sudah melancarkan aksinya. Pria itu kemudian mengukung istrinya di bawah kendalinya. "Nda, makin hari ... kamu makin cakep aja."

Pijar menyipit. "Dulu berarti nggak cakep?"

"Cantik ...." Bhre mengusap lembut sudut rahang sang istri. Dia dulu tak menyadari kecantikan Pijar saat ada gadis remaja yang sering mengunjungi Pilar di asrama. Bahkan bolak-balik, ia main ke rumah Pilar pun, Bhre masih menganggap Pijar seperti teman biasa. Namun, setelah melihat Pijar terduduk di lantai depan ICU dengan wajah sembab saat Papa kritis, air mata Pijar seolah menenggelamkan batinnya yang hampa karena ketiadaan Vina. Tanpa sadar ia terseret mendekati pijaran api yang membakar kembali gelora asmara yang ia pikir tak akan ia rasakan lagi. Bagi Bhre, Pijar laksana api yang berpijar, memberi terang pada hidupnya yang kelam. Menyemarakkan hidup dengan warna yang berbeda.

Bhre pikir ia sudah menghapus nama Vina dan melupakan semua kisah mereka. Nyatanya, Bhre seperti pria brengsek karena debaran itu muncul ketika pertama kali bertemu dengan Vina lagi. Terlebih saat mendapati cinta pertamanya itu semakin modis, cantik, dan gesit saat bekerja tak dimungkiri cinta yang ia pendam dalam-dalam itu menyeruak dari relung hati dan mengancam kesetiaannya. Padahal, Pijar-lah yang membentuknya sampai di titik ini. Tapi, kenapa pijaran cintanya pada sang istri meredup dan tertutup debaran yang ia rasakan pada Vina?

Rahang Bhre mengerat. Bagaimana bisa ia melupakan kalau Pijarlah yang mengorbankan segala-galanya untuknya? Wanita itu meninggalkan mamanya, segala kekayaan keluarga, dan rela membanting tulang saat Bhre ingin meraih cita-cita yang sebenarnya adalah janji terselubung yang hanya diketahui olehnya dan Vina.

Tidak! Vina adalah masa lalu! Pijar adalah masa kini dan masa depannya! Debaran itu hanya sementara dan jangan sampai berlarut-larut meredupkan bara cintanya pada Pijar. Tidak mungkin ia akan mengkhianati janji pernikahan demi cinta pertama yang tak kesampaian. Tak mungkin ia berpaling dari wanita yang melahirkan dan merawat darah dagingnya.

Apakah ia harus menghamili Pijar lagi secepatnya untuk memperkokoh pernikahan mereka? Bukankah Ibu juga menginginkan cucu kedua darinya?

Bhre memantapkan niatnya. Ia harus sabar menunggu masa subur Pijar dan menunaikan tugasnya menggemburkan lahan dan menyemburkan benih di lahan subur sang istri.

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang