13. IUD

837 120 25
                                    

Bagi Pijar, Bhre adalah segalanya. Dia rela melakukan apapun demi mendapatkan suaminya, termasuk menolak perjodohan dengan Kevin. Namun, dia mempertanyakan apakah keputusannya dulu tepat, saat mendapat karunia seorang anak spesial. Apakah sakitnya Nala adalah imbas karena dia kualat?

Sekuat tenaga Pijar berusaha menepis anggapannya. Apa yang dia putuskan tidak ingin disesali. Namun, melihat Bhre berjalan bersama Vina, hatinya begitu remuk. Seolah apa yang dia perjuangkan selama ini, tak berarti sama sekali.

Lamunannya buyar ketika mendengar derik pintu terbuka yang menguak sosok Bhre sedang membawa nampan berisi piring dan gelas serta Nala yang mengekor di belakang papanya. Seandainya dia tak melihat kejadian tadi siang, dia pasti bahagia dengan perlakuan Bhre yang begitu perhatian.

"Nda, ayo maem dulu." Bhre duduk di tepi ranjang, menaruh nampan di pangkuan, dan menyibak selimut Pijar.

Pijar hanya diam. Dia menatap suami dan anaknya bergantian.

"Ayo, Nda! Manda harus makan biar cepet sehat." Suara renyah Nala kembali menggelitik batinnya. Anak itu tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya tahu, papanya laki-laki baik yang menyayanginya. Walau … di luar sana, sang papa bernostalgia dengan wanita masa lalunya.

"Maem, yuk. Panda suapin."

Pijar membeku. Perhatian ini terasa menyakitkan. Namun, dia tidak bisa menolak karena Nala menarik badannya agar duduk dan bersandar di kepala ranjang.

Suapan demi suapan masuk ke mulut Pijar. Rasa rawon yang dibuat Mbok Sukini tak lagi terasa gurih. Lidahnya seolah mati rasa, layaknya hatinya yang kebas karena didera rasa cemburu.

Namun, tetap saja Pijar tak bisa menangis. Di depan Nala, dia harus kuat dan tersenyum agar putrinya bahagia.

***

Keesokan harinya, Kevin keheranan ketika mendapati dahi Pijar yang berplester. Walau berusaha ditutupi poni, tetap saja gundukan itu terlihat jelas, mengundang perhatian.

"Kenapa dahimu, Jar?" Alis Kevin mengernyit saat kakinya mengayun memasuki ruangan CEO.

Pijar yang masih meneliti dokumen yang baru diterima di e-mail, tidak menggubris pertanyaan Kevin. Mata di balik kacamata baca itu tampak terpaku memperhatikan selembar kertas yang baru saja dicetak, sementara telunjuknya mengurut angka kecil-kecil yang tertoreh di permukaan kertas.

"Vin, ada masalah nih." Pijar akhirnya mendongak memperlihatkan wajah yang pucat.

"Eh, kamu kenapa? Sakit?" Kevin lalu mempercepat langkah dan berdiri di depan meja Pijar. Tangannya yang terulur ditempelkan di kening Pijar.

Pijar menepis kasar. "Vin, ada masalah!"

Melihat otot wajah Pijar yang menegang dan rona muka yang memudar, Kevin menangkap sinyal buruk. "Masalah apa?"

"Harga yang kita tawarkan di RAB ada selisih." Mata Pijar memerah, saking bingungnya. Dia tidak menyangka harga bahan yang dia ambil dari rekanan pemasok bahan baku di dinas pendidikan, sudah tidak berlaku lagi. Pijar menyangka harga masih sama, sehingga mengambil harga penawaran tanpa konfirmasi.

Kevin menepuk keningnya keras. Biasanya dia memang mencantumkan harga-harga di RAB berdasarkan harga penawaran pemasok yang mengirimkan dokumen penawaran. Kali ini bisa-bisanya dia menuruti saja apa yang dikatakan Pijar dalam keadaan terburu-buru.

"Gimana ini, Vin?" Pijar meraih tangan sahabatnya dan menggoyang-goyangkan ke kanan kiri. Dia seolah butuh sandaran di saat kalut seperti ini. "Selisihnya hampir lima puluhan juta loh. Ah, lebih malah. Uang dari mana nutup itu?"

Kevin berusaha tenang. "Surat perjanjian kerjasamanya belum kamu teken, 'kan?"

Bibir Pijar semakin memberengut. "Uwes (Udah)! Kalau belum, buat apa aku sepanik ini!"

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang